Martha Christina Tiahahu



Martha Christina Tiahahu adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut. Lahir sekitar tahun 1800 dan pada waktu mengangkat senjata melawan penjajah Belanda berumur 17 tahun. Ayahnya adalah Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga pembantu Thomas Matulessy Kapitan Pattimura dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.

Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, gadis molek ini terkenal sebagai gadis pemberani dan konsekwen terhadap cita-cita perjuangannya.

Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bahagian dan pantang mundur. Dengan rambutnya yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah) ia tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua. Siang dan malam ia selalu hadir dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita di negeri-negeri agar ikut membantu kaum pria disetiap medan pertempuran sehingga Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang.

Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw – Ullath jasirah Tenggara Pulau Saparua yang nampak betapa hebat srikandi ini menggempur musuh bersama para pejuang rakyat. Namun akhirnya karena tidak seimbang dalam persenjataan, tipu daya musuh dan penghianatan, para tokoh pejuang dapat ditangkap dan menjalani hukuman. Ada yang harus mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa. Kapitan Paulus Tiahahu divonis hukum mati tembak. Martha Christina berjuang untuk melepaskan ayahnya dari hukuman mati, namun ia tidak berdaya dan meneruskan bergerilyanya di hutan, tetapi akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Pulau Jawa.

Di Kapal Perang Eversten, srikandi yang berjiwa kesatria ini menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer jasadnya diluncurkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818. Menghargai jasa dan pengorbanan, Martha Christina dikukuhkan sebagai “PAHLAWAN KEMERDEKAAN NASIONAL” oleh Pemerintah Republik Indonesia. Martha Christina Tiahahu dilahirkan di Abubu Nusalaut pada tanggal 4 Januari 1800 merupakan anak sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu dan masih berusia 17 tahun ketika mengikuti jejak ayahnya memimpin perlawanan di Pulau Nusalaut. Pada waktu yang sama Kapitan Pattimura sedang mengangkat senjata melawan kekuasaan Belanda di Saparua. Perlawanan di Saparua menjalar ke Nusalaut dan daerah sekitarnya.

Pada waktu itu sebagian pasukan rakyat bersama para Raja dan Patih bergerak ke Saparua untuk membantu perjuangan Kapitan Pattimura sehingga tindakan Belanda yang akan mengambil alih Benteng Beverwijk luput dari perhatian.

Guru Soselissa yang memihak Belanda melakukan kontak dengan musuh mengatas-namakan rakyat menyatakan menyerah kepada Belanda. Tanggal 10 Oktober 1817 Benteng Beverwijk jatuh ke tangan Belanda tanpa perlawanan.

Sementara di Saparua pertempuran demi pertempuran terus berkobar. Karena semakin berkurangnya persediaan peluru dan mesiu pasukan rakyat mundur ke pegunungan Ulath-Ouw. Diantara pasukan itu terdapat pula Martha Christina Tiahahu beserta para Raja dan Patih dari Nusalaut.

Tanggal 11 Oktober 1817 pasukan Belanda dibawah pimpinan Richemont bergerak ke Ulath, namun berhasil dipukul mundur oleh pasukan rakyat. Dengan kekuatan 100 orang prajurit, Meyer beserta Richemont kembali ke Ulath. Pertempuran berkobar kembali, korban berjatuhan di kedua belah pihak.

Dalam pertempuran ini Richemont tertembak mati. Meyer dan pasukannya bertahan di tanjakan Negeri Ouw. Dari segala penjuru pasukan rakyat mengepung, sorak sorai pasukan bercakalele, teriakan yang menggigilkan memecah udara dan membuat bulu roma berdiri.

Di tengah keganasan pertempuran itu muncul seorang gadis remaja bercakalele menantang peluru musuh. Dia adalah putri Nusahalawano, Martha Christina Tiahahu, srikandi berambut panjang terurai ke belakang dengan sehelai kain berang (kain merah) terikat di kepala.

Dengan mendampingi sang Ayah dan memberikan kobaran semangat kepada pasukan Nusalaut untuk menghancurkan musuh, jujaro itu telah memberi semangat kepada kaum perempuan dari Ulath dan Ouw untuk turut mendampingi kamu laki-laki di medan pertempuran.

Baru di medan ini Belanda berhadapan dengan kaum perempuan fanatik yang turut bertempur. Pertempuran semakin sengit katika sebuah peluru pasukan rakyat mengenai leher Meyer, Vermeulen Kringer mengambil alih komando setelah Meyer diangkat ke atas kapal Eversten.

Tanggal 12 Oktober 1817 Vermeulen Kringer memerintahkan serangan umum terhadap pasukan rakyat, ketika pasukan rakyat membalas serangan yang begitu hebat ini dengan lemparan batu, para Opsir Belanda menyadari bahwa persediaan peluru pasukan rakyat telah habis.

Vermeulen Kringer memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu dan kembali melancarkan serangan dengan sangkur terhunus. Pasukan rakyat mundur dan bertahan di hutan, seluruh negeri Ulath dan Ouw diratakan dengan tanah, semua yang ada dibakar dan dirampok habis-habisan.

Martha Christina dan sang Ayah serta beberapa tokoh pejuang lainnya tertangkap dan dibawa ke dalam kapal Eversten. Di dalam kapal ini para tawanan dari Jasirah Tenggara bertemu dengan Kapitan Pattimura dan tawanan lainnya.

Mereka diinterogasi oleh Buyskes dan dijatuhi hukuman. Karena masih sangat muda, Buyskes membebaskan Martaha Christina Tiahahu dari hukuman, namun sang Ayah, Kapitan Paulus Tiahahu tetap dijatuhi hukuman mati.

Mendengar keputusan tersebut, Martha Christina Tiahahu memandang sekitar pasukan Belanda dengan tatapan sayu namun kuat yang menandakan keharuan mendalam terhadap sang Ayah.

Tiba-tiba Martha Christina Tiahahu merebahkan diri di depan Buyskes memohonkan ampun bagi sang ayah yang sudah tua, namun semua itu sia-sia.

Tanggal 16 Oktober 1817 Martha Christina Tiahahu beserta sang Ayah dibawa ke Nusalaut dan ditahan di benteng Beverwijk sambil menunggu pelaksanaan eksekusi mati bagi ayahnya.

Martha Christina Tiahahu mendampingi sang Ayah pada waktu memasuki tempat eksekusi, kemudian Martha Christina Tiahahu dibawa kembali ke dalam benteng Beverwijk dan tinggal bersama guru Soselissa.

Sepeninggal ayahnya Martha Christina Tiahahu masuk ke dalam hutan dan berkeliaran seperti orang kehilangan akal. Hal ini membuat kesehatannya terganggu.

Dalam suatu Operasi Pembersihan pada bulan Desember 1817 Martha Christina Tiahahu beserta 39 orang lainnya tertangkap dan dibawa dengan kapal Eversten ke Pulau Jawa untuk dipekerjakan secara paksa di perkebunan kopi.

Selama di atas kapal ini kondisi kesehatan Martha Christina Tiahahu semakin memburuk, ia menolak makan dan pengobatan.

Akhirnya pada tanggal 2 Januari 1818, selepas Tanjung Alang, Martha Christina Tiahahu menghembuskan nafas yang terakhir. Jenazah Martha Christina Tiahahu disemayamkan dengan penghormatan militer ke Laut Banda.

Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 012/TK/Tahun 1969, tanggal 20 Mei 1969, Martha Christina Tiahahu secara resmi diakui sebagai Pahlawan Nasional.
Patung Christina di Karang Panjang Ambon
sumber : http://juliansoplanit.blogspot.com/2012/02/martha-christina-tiahahu.html

Dr. Johannes Leimena

Dr. Johannes Leimena

Dr. Johannes Leimena lahir di Ambon, Maluku 6 Maret 1905 – meninggal di Jakarta, 29 Maret 1977 pada umur 72 tahun. Ia tokoh politik yang paling sering menjabat sebagai menteri kabinet Indonesia dan satu-satunya Menteri Indonesia yang menjabat sebagai Menteri selama 21 tahun berturut-turut.  lahir di Ambon, Maluku, 6 Maret 1905. Leimena merantau ke Batavia dimana ia meneruskan studinya di ELS (Europeesch Lagere School), namun hanya untuk beberapa bulan saja lalu pindah ke sekolah menengah Paul Krugerschool (kini PSKD Kwitang). Dari sini ia melanjutkan pendidikannya ke MULO Kristen, kemudian melanjutkan pendidikan kedokterannya STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen), Surabaya - cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Geneeskunde Hogeschool (GHS - Sekolah Tinggi Kedokteran) di Jakarta.


LEIMENA , MALUKU  dan PANCASILA

Leimena bersama kabinet pertama indonesia yakni perdana menteri, menteri sosial, menteri kemakmuran, menteri negara urusan peranakan, menteri keamanan rakyat dan dua staf ,pak Leimena duduk di tengah
Tulisan ini hendak membahas peran Sukarno dalam kelahiran Pancasila, serta posisi berbagai tokoh politik Maluku dan posisi kekristenan dalam sejarah bangsa ini.

Pada waktu sejarah negara ini beranjak lebih jauh, sebagai orang Maluku kita pernah memiliki pengalaman ketika pluralisme itu diuji dan digoyang tetapi kita berhasil mengatasi berbagai perbedaan tersebut untuk menemukan masa depan yang lebih baik.

Dalam konteks inilah kita pernah melihat bahwa Maluku memiliki posisi yang sangat penting di Indonesia dan hal itu tampak pada pandangan Sukarno terhadap para pemimpin dari Indonesia. Pada waktu Sukarno mengucapkan pidatonya di BPUPKI, kehadiran orang Maluku diwakili oleh beberapa tokoh khususnya Mr J Latuharhary yang kemudian menjadi gubernur Maluku yang pertama sesudah proklamasi 17 agustus 1945. Dalam buku karya Johannes de Fretes yang berjudul “Kebenaran Melebihi Persahabatan”, menjelaskan bahwa posisi Mr Latuharhary sejak awal mendukung pandangan kebangsaan Sukarno tentang Pancasila yang dilihatnya sebagai kunci bagi keberlanjutan Indonesia di masa depan. Sang penulis - J.D. de Fretes - adalah orang Maluku pertama yang menjadi duta besar Indonesia dan semasa mudanya merupakan asisten dari gubernur Latuharhary

Kepercayaan Sukarno terhadap kualitas kepemimpinan orang Maluku, menjadi lebih jelas pada kepercayaannya yang sangat tinggi terhadap Dr Johannes Leimena. Dr Leimena adalah satu-satunya pemimpin politik di Indonesia, yang paling banyak duduk di kabinet yaitu 18 kali duduk dalam kabinet di Indonesia. Selain itu, Dr Leimena juga adalah satu-satunya orang Indonesia yang pernah menjadi pejabat Presiden RI sebanyak tujuh kali. Prestasi politik semacam ini belum pernah dicapai oleh siapapun di Indonesia. Dr Leimena pada waktu adalah ketua Partai Kristen Indonesia dan pendiri gerakan mahasiswa kristen Indonesia.

Andar Ismail mengutip kata-kata Bung Karno bahwa, "Ambillah misalnya Leimena ... saat bertemu dengannya aku merasakan rangsangan indra keenam, dan bila gelombang intuisi dari hati nurani yang begitu keras seperti itu menguasai diriku, aku tidak pernah salah. Aku merasakan dia adalah seorang yang paling jujur yang pernah kutemui".

Posisi politik Leimena adalah hasil refleksi dirinya yang menurutnya memiliki dua kewargaan (dwi-kewargaan atau dual citizenship), yaitu bahwa pada waktu dirinya merupakan anggota dari gerejanya, pada saat yang sama dia adalah juga anggota dari Negara-nya. Sebagai warga negara yang mendukung kemerdekaan negaranya, Leimena menemukan bentuk tanggung jawab bernegara. Solidaritas bersama warga bangsa (meskipun berbeda agama) inilah yang merupakan satu landasan bagi kita sebagai orang Maluku untuk memahami posisi kita di Indonesia. Paling tidak itulah yang dijelaskan Flip Litaay dalam bukunya berjudul “Pemikiran Sosial Johannes Leimena tentang Dwi-kewargaan di Indonesia.”

Victor Silaen menangkap pesan Leimena tersebut dalam buku Litaay bahwa “… pemikiran kritis Leimena tentang bagaimana kedudukan warga gereja dan warga negara di Indonesia…” agar orang Kristen memahami kehadirannya di negeri ini sebagai sebuah 'karunia' (gabe) dan menyikapinya dalam wujud kerjasama yang kritis solider dengan sesama warga negara Indonesia lainnya; dalam arti saling berbagi dan berbagi bersama (to share and share alike), sebagai suatu pertanggungjawaban (aufgabe) kepada Tuhan demi keutuhan negara dan bangsa berdasarkan Pancasila sebagai ideologi yang pluralis, sekuler, integratif sentripetal dan final.

Leimena memberikan contoh nyata dalam hidup pribadinya. Salah satu anaknya menikah dengan pasangan yang beragama Islam dan memeluk agama Islam dan Dr Leimena merestui keputusan tersebut. Hal ini menunjukkan satu teladan besar mengenai sifat negarawan Leimena yang mendukung Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Sejarah juga mencatat keterangan Ridwan Saidi yang adalah mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), bahwa ketika Presiden Sukarno berniat membubarkan HMI, Dr Leimena berprakarsa mencegah keputusan Presiden Sukarno itu dan akhirnya HMI tidak dibubarkan oleh Bung Karno.

Andar Ismail mengatakan bahwa “…Untuk generasi sekarang, Leimena merupakan tokoh masa lalu yang patut dikenal sebagai model. Kita mempunyai banyak pemimpin, tetapi adakah pemimpin yang betul-betul jujur sehingga patut dijadikan teladan? Adakah pemimpin yang bersih dari gila kuasa dan gila harta, sehingga semua orang ingin mencontoh dia? Justru generasi masa kini perlu mengenal Leimena karena pemikiran dan teladannya. Ia adalah pemimpin yang diberi karunia yang langka, yaitu karunia hati nurani.”

Mungkin inilah yang disebut sebagai kehidupan ber-Pancasila. Siapkah kita?

Tentang ‘rasa hati’ Leimena, Sang Teolog Kebangsaan
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


Teologi, di dalam cara dan situasi apa pun, adalah dialektika antara yang abstrak (misteri) dan empirik (kontekstual). Dialektika itu menempatkan manusia, sebagai subyek [yang ber]teologi, dalam ruang pemaknaan yang nyata; artinya ia hidup dan berada di dalam dunia, di tengah suatu situasi yang dihadapinya, bahkan di tengah galau hati, keresahan, dan berbagai problem psikologisnya. Malah di dalam situasi terancam sekalipun, teologi itu mampu hadir. Dalam keadaan itu, kita bisa mengatakan bahwa setiap pemikiran dan perbuatan teologi [berteologi] didorong pula pada adanya pengharapan [hope].

Banyak kalangan menyebut bahwa berteologi selalu didorong oleh solidaritas, yakni ketika diskusi teologi dibawa masuk ke dalam ruang-ruang publik dan dilihat sebagai suatu aktifitas kehidupan yang sesungguhnya. Artinya teologi dan berteologi itu bukan aktifitas tekstual atau dogmatik, sebaliknya aktifitas kehidupan/perbuatan.

‘RASA HATI’
Dalam banyak defenisi aspek ‘belarasa’ selalu dilihat sebagai dorongan mendasar dari solidaritas manusia yang berteologi. Malah ada yang menterjemahkannya lebih dari sebatas kepedulian, solider, karena ‘belarasa’ adalah bentuk empati mendalam, di mana seseorang yang berteologi pertama-tama didorong oleh ‘pandangan dunia’ atau pemahaman dirinya, lalu melahirkan kepekaan untuk melihat realitas yang termarginalkan [individu maupun kelompok], dan mendorong suatu aksi untuk benar-benar menyatakan keberpihakan, pembelaan [advokasi], dan kepedulian. ‘Belarasa’ pada gilirannya melahirkan perubahan, pemulihan relasi, penegakan keadilan dan kebenaran, yang semuanya mengarah pada kehidupan. Maka kehidupan adalah tema dan tujuan utama dari berteologi itu sendiri.

Om Jo ~seperti juga dalam tulisan sebelumnya~ adalah teolog kebangsaan yang mampu mendemonstrasikan suatu keunggulan berteologi secara personal, dan itu yang menjadi karakternya yang khas (typical). Ia bukan saja teolog kebangsaan yang kritis, dan tegas. Ternyata sikap kritis dan tegas itu lahir dari ‘rasa hati’ yang sangat mendalam terhadap bangsa dan masyarakat [orang] Indonesia.

Beberapa rekaman sejarah mengenai krisis awal 1965 yang menumbangkan Soekarno, seperti yang saya baca dalam buku brilian karya F.P.B. Litaay (2007) melukiskan suasana ‘rasa hati’ Om Jo yang mendalam dan mampu melahirkan kritik serta perlawanan [diskursus] terhadap Soeharto yang dinilainya berlaku kasar terhadap Presiden. Malah, menurut tulisan Litaay, ketika Soekarno ditawarkan untuk pergi ke Yogya, Om Jo yang bertindak membelokkan perjalanan Soekarno, dan membawanya ke Istana Bogor. Kisah ini mungkin dinilai sederhana, tetapi tindakan Om Jo itu membuat Indonesia terhindar dari perang saudara yang bisa saja menghancurkan Proklamasi. Komimten Om Jo pada Proklamasi ternyata lahir karena kecintaannya kepada rakyat Indonesia yang sudah merdeka. Dalam tulisan Litaay, yang juga mengutip wawancaranya dengan P.D. Latuihamallo, bahwa beberapa saat sebelum naik pesawat, dalam kondisi yang genting, Om Jo bertanya kepada Soekarno: ‘Pak Presiden, apakah anda benar mencintai rakyat?’ ‘Ya, tentu’, jawab Presiden.

Di situlah tergambar bahwa dalam krisis politik nasional itu, Om Jo tidak melihat seberapa penting kekuasaan, melainkan seberapa penting rakyat dan seberapa penting komitmen cinta [‘rasa hati’] pemimpin terhadap rakyatnya. Makanya tidak heran jika ia berani melawan Soeharto, dan menegaskan juga bahwa politik itu adalah etika untuk melayani, bukan nafsu untuk berkuasa.

‘Sterkte!’, Kuatkanlah dirimu!

Ungkapan ini dikatakan Om Jo saat Roeslan Abdulgani tertembak tangannya, 19 Desember 1948 di Yogyakarta. Saat itu Om Jo bersama beberapa perawat sedang dikawal tentara pendudukan dan berpapasan dengan Roeslan Abdulgani yang sedang diangkut dalam dokar.
Melihat keadaannya yang telah hilang beberapa jarinya, Om Jo berteriak dengan gusar: “Roeslan? Kamu terluka? Lekas ambil tetanus! Lekas ambil tetanus!

Menurut kesaksian Roeslan, sambil berteriak seperti itu Om Jo dibentak dan diancam dengan senjata oleh para pengawal, tetapi beliau tetap berteriak: ‘Lekas ambil tetanus! Lekas ambil tetanus! Hingga sayup-sayup terdengar suara Om Jo: ‘Sterkte! Kuatkanlah dirimu! (Litaay, 2007:183-4).

Om Jo seorang dokter. Lekas ambil tetanus! Kalimat itu adalah advice seorang dokter yang disampaikan kepada pasien (Roeslan) dengan tujuan agar tidak terjadi infeksi yang bisa mengancam hidup sang pasien. Bentuk terapi medis yang telah menjadi bagian dari etika kedokteran. Sungguh, Om Jo melakoni profesinya dengan baik. Tetapi lakon itu terjadi di dalam situasi yang sama sekali tidak menguntungkan baik untuk nyawanya dan para perawat yang sedang dalam pengawalan, tetapi terlebih kondisi pasien Roeslan yang sedang terluka dan juga dalam situasi perang.

Kita bisa melihat bahwa ia hanya berpapasan dengan Roeslan. Roeslan tidak sedang di kamar perawatan di sebuah Rumah Sakit atau Klinik, dan Om Jo adalah dokter jaga saat itu. Mereka berpapasan di jalan, Om Jo dalam pengawalan dan Roeslan terluka di dalam dokar. Namun aspek ‘rasa hati’ melahirkan suatu komitmen pelayanan yang tinggi meski dalam situasi yang sama sekali tidak nyaman, tidak menguntungkan dan mengancam.
Suatu bentuk respons teologi dan malah dobrakan teologi. Ia melakoni apa yang sesungguhnya menjadi inti dari berteologi itu yaitu: ‘berteriak’ melawan situasi yang tidak adil dan perlakuan yang menindas. Sebuah gerakan menolong, memulihkan, menumbuhkan dan membebaskan. Suatu teriakan kehidupan walau dirinya sendiri sedang dalam ancaman.

Tidak sampai di situ, sang dokter itu ternyata melakoni profesinya sebagai seorang beriman yang mampu melihat manusia melewati batas-batas apa pun: melewati batas situasi sosial, batas penjajahan, melewati batas ancaman, dan juga melewati batas agama. Roeslan bagi Om Jo adalah seorang manusia yang harus dipulihkan dan ditopang dalam menghadapi situasi krisisnya.

‘Sterkte’ Kuatkanlah dirimu!’, adalah bentuk penopangan Om Jo terhadap Roeslan, bukan karena tidak bisa merawatnya, melainkan karena Roeslan harus berjuang untuk mengatasi krisis yang sedang dialaminya, tetapi Om Jo tetap merasa ia harus mengadirkan diri dalam perjuangan melawan krisis yang dilakoni Roeslan sendiri.
‘Rasa hati’ selalu membuat seseorang mampu menghadirkan dirinya di dalam perjuangan orang lain atau sesama, walau tidak secara langsung. Apa yang Om Jo perlihatkan itu adalah bagian dari panggilan teologi kebangsaan yang mendorong suatu usaha mengatasi dan keluar dari krisis melalui kepedulian penuh kepada siapa pun juga.

Riwayat Perjuangan dan aktivitas LEIMENA
  1. Pada tahun 1926, Leimena ditugaskan untuk mempersiapkan Konferensi Pemuda Kristen di Bandung. Konferensi ini adalah perwujudan pertama Organisasi Oikumene di kalangan pemuda Kristen. Setelah lulus studi kedokteran STOVIA, Leimena terus mengikuti perkembangan CSV yang didirikannya saat ia duduk di tahun ke 4 di bangku kuliah. CSV merupakan cikal bakal berdirinya GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) tahun 1950
  2. Aktif dalam organisasi pergerakan di Jong Ambon, dan  ikut mempersiapkan Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 
  3. Leimena dikenal sebagai salah satu pendiri Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)
  4. Leimena bekerja sebagai dokter sejak tahun 1930 sebagai dokter pemerintah di "CBZ Batavia" (kini RS Cipto Mangunkusumo). Tak lama ia dipindahtugaskan di Karesidenan Kedu saat Gunung Merapi meletus. Setelah itu dipindahkan ke Rumah Sakit Zending Immanuel Bandung. Di rumah sakit ini ia bertugas dari tahun 1931 sampai 1941.
  5. Menjabat sebagai ketua Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dari tahun 1945-1957.
  6. Selain di Parkindo, Leimena juga berperan dalam pembentukan DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia, kini PGI), juga pada tahun 1950. Di lembaga ini Leimena terpilih sebagai wakil ketua yang membidangi komisi gereja dan negara.
  7. Leimena dipercaya Presiden Soeharto sebagai anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) hingga tahun 1973. Setelah purna tugas di DPA ia kembali melibatkan diri di lembaga-lembaga Kristen yang pernah ikut dibesarkannya seperti Parkindo, DGI, UKI, STT, dan lain-lain. Ketika Parkindo berfusi dalam PDI (Partai Demokrasi Indonesia, kini PDI-P), Leimena diangkat menjadi anggota DEPERPU (Dewan Pertimbangan Pusat) PDI, dan pernah pula menjabat Direktur Rumah Sakit DGI Cikini.
Jabatan
  • Menteri Muda Kesehatan pada Kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946 - 2 Oktober 1946)
  • Wakil Menteri Kesehatan pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947)
  • Menteri Kesehatan pada Kabinet Amir Sjarifuddin I (3 Juli 1947 - 11 November 1947)
  • Menteri Kesehatan pada Kabinet Amir Sjarifuddin II (11 November 1947 - 29 Januari 1948)
  • Menteri Kesehatan pada Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949)
  • Menteri Negara pada Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 - 20 Desember 1949)
  • Menteri Kesehatan pada Kabinet Republik Indonesia Serikat/RIS (20 Desember 1949 - 6 September 1950)
  • Menteri Kesehatan pada Kabinet Natsir (6 September 1950 - 20 Maret 1951)
  • Menteri Kesehatan pada Kabinet Sukiman-Suwirjo (27 April 1951 - 3 April 1952)
  • Menteri Kesehatan pada Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 30 Juli 1953)
  • Menteri Kesehatan pada Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 - 24 Maret 1956)
  • Menteri Sosial pada Kabinet Djuanda (9 April 1957 - 10 Juli 1959)
  • Menteri Distribusi pada Kabinet Kerja I (10 Juli 1959 - 18 Februari 1960)
  • Wakil Menteri Utama merangkap Menteri Distribusi pada Kabinet Kerja II (18 Februari 1960 - 6 Maret 1962)
  • Wakil Menteri Pertama I pada Kabinet Kerja III (6 Maret 1962 - 13 Desember 1963)
  • Wakil Perdana Menteri II pada Kabinet Kerja IV (13 November 1963 - 27 Agustus 1964)
  • Menteri Koordinator pada Kabinet Dwikora I (27 Agustus 1964 - 22 Februari 1966)
  • Wakil Perdana Menteri II merangkap Menteri Koordinator, dan Menteri Perguruan Tinggi & Ilmu Pengetahuan pada Kabinet Dwikora II (24 Februari 1966 - 28 Maret 1966)
  • Wakil Perdana Menteri untuk urusan Umum pada Kabinet Dwikora III (27 Maret 1966 - 25 Juli 1966)
J. Leimena meninggal dunia di Jakarta Pada tanggal 29 Maret 1977. Sebagai penghargaan kepada jasa-jasanya, pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No 52 TK/2010 pada tahun 2010 memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Dr. Leimena.
Sumber : http://juliansoplanit.blogspot.com/2012/02/dr-johannes-leimena.html
Melchior Kesaulya yang namanya dieja sebagai Melojier Kesaulya alias Kapitan Pattisaha Dia adalah raja Siri Sori yang diangakat oleh Thomas Matulessy sebagai pembantunya menggantikan raja Salomon Kesaulya yang telah berkhianat dan tewas dalam pertempuran di pantai Waisisil dengan Mayor Beetjes pada tanggal 20 Mei 1817. Melchior-lah yang menandatangani “Proklamasi Haria” pada musyawarah besar  di Baeleo Haria pada tanggal 28 Mei 1817. Ia diangkat oleh Thomas Matulessy (Kapitan Pattimura) sebagai salah satu komandan pasukan rakyat di Pulau Haruku untuk merebut benteng Belanda “Zeelandia” dibawah pimpinan Kapitan Selanno yang dibantu oleh Kapitan Lukas Lisapaly alias Kapitan Aron.

Ketiga Kapitan ini pernah berdinas dalam kesatuan tentara Inggris yaitu Korps Limaratus dibawah pimpinan Sersan Mayor Thomas Matulessy. Pada akhir peperangan, Melchior tertangkap dan dibawah bersama para Kapitan lain ke Ambon. Dia diputuskan mendapat hukuman mati gantung oleh Ambonsche Raad van Yustitie (Pengadilan Belanda di Ambon). Vonisnya disahkan oleh Laksaman Buyskes dengan Surat Keputusan tanggal 13 Desember  1817 nomor 132.

Ia naik tiang gantung pada pagi hari tanggal 16 Desember 1817 bersama Thomas Matulessy, Anthone Rhebok dan Philips Latumahina. Melchior Kesaulya merupakan orang ketika yang naik tiang gantung dan terakhir adalah Thomas Matulessy. Pada tanggal 16 Desember 1817 pagi hari dengan disaksikan oleh para hakim – hakim, pasukan Alifuru dari Ternate dan Tidore serta rakyat kota Ambon. Oleh: migo-patty.blogspot.com
 
Ir. Matinus Putuhena (1901 – 1982)
Ir.Martinus Putuhena dilahirkan dalam suatu keluarga nelayan pada tanggal 27 Mei 1901 di Desa Ihamahu Pulau Saparua. Ia keturunan keluarga besar Putuhena dari Desa Ihamahu di Pulau Saparua. Setelah menamatkan Pendidkan dasar  pada”Saparoeasche school” di Saparua tahun 1916, ia melanjutkan studi ke sekolah menengah yaitu”MULO” di Tondano(MInahasa) dan tamat pada tahun 1919. Kemudian melanjutkan ke AMS Jurusan B di Jogyakarta dan lulus pada tahun 1929. Sesudah itu ia ke Bandung dan berkuliah di Technese Hoge School (THS) yaitu Sekolah Tinggi Teknik (Pendahulu ITB), lulus tahun 1927 dan menyandang gelar Insinyur Sipil. Putuhena adalah putera Maluku(Ambon) pertama alumnus THS Bandung.

Ir. Martinus Putuhena memulai karirnya dengan bekerja pada Jawatan Pekerjaan Umum dan Tenaga di Bandung dan kemudian bertugas diberbagai tempat antara lain di Jakarta, Purwokerto, Cirebon. Menjelang Perang Dunia II bertugas ke Lombok sebagai Kepala Jawatan Pekerjaan Umum dan Tenaga. Dimasa berkuliah di Bandung, Putuhena mulai berkenalan dengan politik dan sangat dekat dengan Bung Karno teman karib. Ia pun menjadi anggota “Algemeene Studie Club” yang didirikan tahun 1925 dan selalu ikut dalam kegiatan – kegiatan politik dengan tokkoh – tokoh pergerakan nasional. Pada zaman Jepang Ir. Martinus Putuhena sering dipenjara dan nyaris terbunuh karena tuduhan menentang kekuasaan Jepang.
Setelah kembali bertugas ke Jakarta, Putuhena segera terlihat dalam revolusi kemerdekaan. 

Setelah Proklamasi Kemerdekaan dan pembentukan pemerintahan Negara Indonesia Ir. Martinus Putuhena sampai tiga kali menjabat Menteri Pekerjaan Umum. Selama revolusi kemerdekaan, ia bertugas sesuai dengan profesinya dan dalam kegiatan – kegiatan politik selalu bersama dengan Dr.J. Leimena dan Mr. J. Latuharhary. Tugas penting dan berat yang dipercayakan kepadanya dalam rangka perjuangan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah melikuidasi NIT (Negara Indonesia Timur) dan menumpas pemberontakan RMS di Maluku. Misi diplomasinya berhasil dengan baik pada waktu ia menjabat Perdana Mentari NIT dan berhasil menjadi anggota dari panitia Perundingan dengan RMS dipimpin Dr.J. Leimena.

Sesudah melewati purna bakti Ir. Martinus Putuheena masih tetap mengabdi pada masyarakat. Tokoh Nasional dan pejuang ini meninggal dunia pada tanggal 20 September 1982 di Jakarta. Pemerintah RI dan bangsa Indonesia menghargainya sebagai salah seorang “MAHAPUTERA INDONESIA” dan dianugerahi bintang jasa tertinggi “MAHAPUTERA UTAMA”. Oleh: migo-patty.blogspot.com