I. Asal usul dan sebab-sebab hingga timbulnja negeri paperu
Didalam sejarah kebudayaan, khususnya didalam pembahasan mengenai sejarah Nunusakuisme, telah menggambarkan dan membawa alam pemikiran kita untuk suatu kesimpulan bahwa:
"Asal mula penduduk jang mendiami negeri-negeri atau kampung- kampung di Maluku Tengah, terutama di kepulauan Lease, pada umumnja berasal dari Pulau Seram (Seram Barat) atau lebih tegas lagi, mereka berasal dari daerah Nunusaku".
Nunusaku mempunyai 3 cabang aliran yaitu:
1. Negeri-negeri sepanjang aliran sungai Eti
2. Negeri-negeri sepanjang aliran sungai Tala
3. Negeri-negeri sepanjang aliran sungai Sapalewa.
Dari ketiga aliran ini kemudian terpencar keturunan mereka kemana-mana. Perpindahan orang-orang Nunusaku ke daerah yang lain karena:
1. Daerah atau negeri-negeri lain masih kosong.
2. Hasrat untuk berpindah ketempat jang belum diketahuinya. Jadi dengan kata lain, mereka mencari tempat yang baru untuk memenuhi suatu hidup yang baru.
3. Kebanyakan adalah akibat dari sebab perbantahan atau perselisihan antara kakak beradik atau sesama saudara.
4. Juga disebabkan oleh faktor perkawinan.
5. Dan lain-lain sebab.

Dengan kehadiran mereka ditempat yang baru itu, mereka mulai berusaha untuk mempertahankan hidup mereka. Orang-orang ini kemudian menganggap dirinya sebagai penduduk asli. Kemudian datang pula pendatang-pendatang yang lain dan bersatu dengan mereka serta mulai membentuk suatu persekutuan hidup bersama. Mereka mulai berlajar untuk hidup bermasyarakat dengan mempunyai pemerintahan. Maka dengan demikian daerah yang mereka tempati itu sudah dapat disebut sebuah kampung atau negeri.

II. Pendiri negeri Paperu dan arti nama negeri Paperu

Orang yang mula-mula tiba di negeri Paperu ialah LATUNUSA yang artinya Raja Pulau. Dengan menggunakan sebuah perahu kora-kora, Latunusa datang dari Seram Barat dan mengelilingi pulau-pulau untuk dijadikan tempat tinggal. Setelah Latunusa melihat negeri Paperu yang cocok dihatinya, lalu ia mengatakan setengah berteriak TOUNUSA jang artinya Lihat Pulau atau Tengok Pulau. Dan dia (Latunusa) memetuskan untuk turun dan menetap disitu.

Latunusa turun dan mencari tanah yang baik serta aman untuk dijadikan tempat tinggalnya. Kemudian dipilihnya bagian tanah dipuncak gunung agar dari tempat itu ia dapat melihat keadaan sekitarnya, teristimewa letaknya jauh dari pesisir pantai, jang berarti ia bebas dari serangan musuh. Setibanya digunung, ia lalu menukar namannya menjadi LATUSALISA atau Raja Gunung. Dan kemudian oleh rakyatnya ia disebut Luhukay jang artinya Jang masuk/tiba pagi-pagi/mula-mula, dan keturunannya sampai sekarang memakai nama Luhukay sebagai nama marganya. Dan Latusalisa/Luhukay ini, berkuasa di darat maupun di laut, sebab pada waktu itu semua tanah masih kosong. Jadi daerah kekuasaannya sangat besar, mulai dari jembatan Booi sampai ke Tiouw (gereja Saparua sekarang) dan terus ke labuhan negeri Haria.

Tak lama kemudian tiba pula beberapa orang dari pulau Seram dengan tujuan yang sama pula, yaitu untuk mencari daerah baru. Mereka lain lalu datang dan menetap di Paperu, dan kemudian mereka bergabung dengan raja Latusalisa di gunung. Mereka membentuk suatu persekutuan hidup yang kecil dan mengangkat Latusalisa sebagai raja Latusalisa mereka. Meskipun mereka baru beberapa orang saja, tapi mereka sudah dapat membentuk sebuah negeri dengan nama:
"NUSA KUMBANG SIRI HALIMBANG PATTY"

Sebenarnya nama negeri tersebut Nusa Kumbang, tetapi karena raja Latusalisa kawin dengan putri dari raja Tial jang bernama Siri Halimbang Patty, maka untuk menghormati istrinya Radja Latusalisa menambah nama istrinya dibelakang nama Nusa Kumbang, menjadi Nusa Kumbang Siri Halimbang Patty. Inilah nama Negeri Paperu yang mula-mula, dan oleh penduduk negeri Paperu lazim mereka sebut Negeri Lama.

*Catatan 1: Orang-orang jang datang itu antara lain:
1. Pattipawaey: Datang dari Seram Barat. Dalam perjalanannya, ia mula-mula singgah di Pulau Haruku di negeri Nariu bersama adiknya Pattiwaelapia. Tetapi setelah terjadi perselisihan dengan adiknya itu, maka ia berpisah meninggalkan adiknya. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya, dan akhirnya singgah di Tounusa, lalu ia bergabung bersama dengan Latunusa.
2. Mayaut: Datang dari Seram Barat (Manipa), dan singgah di Tounusa, lalu bergabung dengan Latunusa dan Pattipawaey.
3. Tuhepary: Datang dari Seram Barat (Kelang) bersama-sama dengen dua orang saudaranya jang lain, yaitu: Tahapary dan Anakottapary. Mereka lalu singgah di Pulau Nusalaut, negeri Akon. Mereka lalu mendapat 3 buah mata air dan masing-masing menjaga 1 buah mata air. Tetapi Tuhepary tidak merasa pua kemudian ia perpindah lagi dari Nusalaut mencari tempat jang baru. Dengan menupang perahu kora-kora, ia singgah di Tounusa dan berdiam didaerah sekitar perbatasan dengan negeri Booi (dalam goa-goa sekitar Seriu sekarang). Kemudian bergabung dengan Latunusa, Pattipawaey, Mayaut yang sudah ada di gunung.
4. Toisuta: Juga dari Seram Barat (Buano) dan singgah di Tounusa, lalu bergabung dengan ketiga orang bersama Latusalisa.
5. Pelamonia: Juga datang dan turut bergabung dengan mereka diatas yang sudah berada di gunung.


CERAM
TIAL TULEHU ASILULU LAIMU SILA PAPERU HULALIU
PULAU AMBON CERAM NUSALAUT SAPAROEA HARUKU


Di negeri Seti (Seram Barat) ada seorang kapitan jang dikenal dengan gelar Solemata. Ia mempunyai 7 orang anak, 6 orang anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan. Pada satu ketika 3 orang anak dari Solemata ini berangkat mencari tempat tinggal yang baru. Mereka lalu memilih 3 buah negeri di Pulau Ambon yaitu di:

1. Tial,
2. Tulehu dan
3. Asilulu.
Tak lama kemudian keempat saudara mereka atau anak dari dari Solemata yang sisa itu, memetuskan untuk mentjari tempat tinggal mereka yang baru seperti apa yang didapat oleh ketiga saudara mereka yang lain itu. Dari Seti mereka turun ke Dihil, kemudian kekuala air Kaba. Dari sana mereka meneruskan perjalanan ke:
4. Laimu.
Mereka belum lagimerasa puas dan masih ingin mengarungi laut lepas. Oleh sebab itu, mereka menyuruh saudara perempuan mereka yang bungsu untuk menetap saja di Laimu. Setelah perjanjian dibuat, ketiga orang itu pergi meninggalkan adik perempuan mereka dengan menumpang sebuah perahu kora-kora. Dalam perjalan mereka terpaksa berpisah lagi dengan saudari laki-laki mereka ang bungsu, jang akan menetap dan tinggal di:
5. Sila (Nusalaut)
Kini hanya tinggal 2 orang saja. Lalu mereka meneruskan perjalanan dan singgah sebentar di labuhan Soino (Tounusa). Di waktu mereka membuka perbekalan mereka untuk makan, ternata hanya tinggal saja 2 bungkus papeda. Oleh sebab itu, mereka lalu memutuskan untuk tinggal saja sisitu, sebab sudah tak ada lagi perbakalan untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya. Mereka diterima baik oleh raja Latusalisa dan anak buahnya di gunung, tetapi mereka tidak tinggal bersama-sama di gunung. Dan untuk mengenang nasib mereka, tempat yang mereka diami itu diberi nama:
6. Papeo atau Paperu jang artinya: Papeda
Sejak nama itu diberikan, hingga kini negeri ini biasanya disebut Paperu, nantinya pada waktu diadakan upacara adat negeri, barulah dipergunakan nama yang pertama yaitu Tounusa.
Kedua orang kakak beradik itu, tidak tinggal bersama. Saudara sulung yang bernama Maelissa tinggal di Negeri dan yang lain memilih daerah sekitar Totu sampai Tiouw sekarang. Tetapi berhubung dengan keadaan tanahnya kurang baik, maka ia pindah ke
7. Hulaliu.

• Tjatatan 2: "Sejak kedatangan ke 7 orang di negeri yang baru itu, maka negeri- negeri tersebut mulai menganggap bahwa mereka semuanya terikat pada suatu hubungan persaudaraan jang erat dan tidak dapat dipisahkan lagi. Hubungan persaudaraan ini hingga kini lebih dikenal baik dengan sebutan: PELA."

Tak lama kemudian Hitirissa tiba di Paperu dan ingin menemui raja digunung. Di tengah perjalanan menuju ketempat raja, ia menikam tombaknya ditanah dan bekas tikaman tombaknya itu menimulkan mata air. Setelah ia bertemu dengan raja, ia kemudian melaporkan hal itu kepada raja, dan raja menuruh Pelamonia untuk menjaga air tadi. Oleh sebab itu Pelamonia diberi gelar Pelamonia Waelo yang artinya Penjaga air, sedangkan air itu diberi nama Nyai Rone Bunga Rone. Air ini hingga kini dianggap sebagai air tua.

• Tjatatan 3: "Air tua dan negeri lama dipandang keramat oleh penduduk dan senantiasa dipudja di dalam pelaksanaan upatjara-upatjara adat-adat negeri hingga kini".
Hitirissa kemudian diangkat anak piara dari raja. Sesudah Hitirissa datang ada juga banyak pendatang lagi misalnya: Soukoyta, Sopamena, Pattiselano, dll

Pattiselano keluar dari negeri Halong dengan menggunakan perahu kora-kora. Yang kemudian ia langsung berlajar ke Jawa dan singgah didaerah Tuban. Di Tuban ia berkenalan dengan Sopamena. Setelah bergaul rapat maka keduanya bersepakat untuk berangkat ke Ambon. Ternyata dalam perjalanan mereka tidak lagi singgah di Halong, tetapi melanjutkan perjalanan hingga pada suatu saat mereka singgah di labuhan Paperu, dan kemudian labuhan itu diberi nama: Potalae yang artinya baru singgah. Mereka langsung menghadap raja di gunung, dan kemudian raja menyuruh mereka menjaga labuhan itu. Sopamena yang dibawah oleh Pattiselano itu, adalah Sopamena Selano.

Penduduk-penduduk negeri Paperu yang baru ini, tinggal terpisah-pisah memenuhi hutan, mereka bergaul, kemudian kawin dan berkembang baik, meskipun mereka tidak tinggal bersama raja dan anak buahnya.

Raja mempunyai 3 labuhan yaitu:
1. Labuhan Seriu atau labuhan raja, berbatas dari Tanjung Paperu sampai di jembatan Booi;
2. Labuhan Potalae: (labuhan ini diberi nama oleh Pattiselano dan Sopamena). Potalae artinya baru singgah. Labuhan ini batasnya dari tanjung Paperu sampai di Gereja Saparua.
3. Labuhan Pekori di Haria: Labuhan ini kemudian diberikan kepada Haria dan menjadi Hak Milik Haria, yaitu pada waktu moyang Kongkelu dari Laimu (pela) menyuruh anaknya yang Souhoka mencari saudara laki-lakinya di Paperu. Setelah pertemuan terjadi antara Souhoka dan Latusalisa, maka Souhoka disuruh tinggal di Haria menjaga labuhan Pekori itu.

Lama kelamaan karena orang-orang jang datang sudah bertambah banyak, maka timbul sedikit kekacauan dalam negeri. Hal itu terdengar oleh Kapitan Hulaliu. Ia lalu menyuruh Sopamena ke Paperu untuk menjaga Raja. Ditengah perjalanan Sopamena mencari akal untuk mengetahui ditempat mana raja berada. Sopamena lalu turun ke air dan menikam tombaknya. Tiba-tiba terpencarlah satu mata air yang besar dan airnya jatuh mengaruh ke negeri Lama. Melalui cara inilah Sopamena telah mengetahui tempat tinggal raja pada waktu itu. Dan oleh Sopamena mata air itu diberi nama Hauhola artinya beta belah/beta tikam, kemudian akibat dari pengaruh bahasa (ucapan), maka orang lebih senang menyebut Hauholo yang sebenarnya tidak mempenyai arti apa-apa.

Sopamena yang datang dari Hulaliu itu adalah Sopamena Tupano. Jadi dinegeri Paperu sudah ada 2 turunan Sopamena, yaitu:
1. Sopamena Selano dari Tuban
2. Sopamena Tupano dari Hulaliu.
Sopamena Tupano segera bertemu dengan raja di gunung dan dia berhasil mengamankan suasana. Akhirnya semua penduduk, baik yang sudah menggabungkan diri dengan penduduk digunung sebagai penduduk negeri, maupun yang masih berstatus sebagai pendatan saja. Meskipun sudah ada perdamaian tetapi raja tetap merasa dendam. Oleh sebab itu raja mencari akal untuk mengkurangkan orang-orang itu. Ia merencanakan untuk membunuh semuah orang jang datang sesudah Sopamena, Maelissa, Patteselano dan Soukotta.

Pattiselano segera dipanggil dan mereka menyetujui rencana pembunuhan yang telah disusuh oleh raja. Dan dengan segera Pattiselanno menjalankan politiknya dan taktiknya, yaitu mereka (Pattiselanno) membuat suatu pesta patita yang besar dan harus dihadiri oleh orang-orang itu. Sebelum patita, Pattiselanno telah meletakan parangnya dibawah meja. Sehinggah sementara pesta patita belangsung, Pattiselanno mulai menjalankan tugasnya. Tiba-tiba Pattiselanno berteriak "Kokita". Satu teriakan yang seolah-olah mengandung arti yang sangat besar bagi dirinya dan sebagai suatu dorongan untuk menambah semangat dan keberaniannya dalam menjalankan tugas pembuhunan itu. Hampir semua orang terbunuh sedangkan yang masih berkesempatan untuk lari, semuanya melarikan diri ke negeri lain atau pulau-pulau yang lain. Kini tinggal Pattiselanno dan orang-orang lain jang sudah mendjadi penduduk negeri Paperu. Tetapi akibat dari pembunuhan itu turunan Pattiselanno hampir musnah. Setelah mereka menyadari hal itu dan menyeselesaikan tuntuannya, barulah turunan mereka berkembang.

Keadaan negeri telah aman seperti semula dan rakyatnya menjadi patuh pada peraturan-perarturan raja. Kemudian Sopamena Tupano menjadi anak mas dari raja.

• Tjatatan 4: Lama kelamaan daerah labuhan Potalae hanya sampai di Hauhola yang menjadi batas negeri Paperu.

Struktur keturunan jang memegang perenan dalam negeri Paperu
Pada waktu bangsa Portugis datang, mereka melihat keadaan tanjung Paperu sangat strategis untuk dijadikan kota, apalagi banyak mata airnya. Portugis merencanakan agar tanjung Paperu dijadikan kota sebagai pusat pertahanan mereka. Portugis kemudian menghadiakan 4 buah meriam kepada raja dan penduduk disitua (dan sekarang hanya sisa 1 meriam saja kepunyaan raja Latusalisa/Luhukay yang sudah diturunkan dari gunung sejak 1 oktober 1974 ke negeri, sedangkan 3 lainnya sudah dicuri orang). Hal ini tidak disetujui oleh raja dan anak buahynya. Mereka menggunakan kepercayaan-kepercayaan mereka atau dalam daerah lazim disebut Pakatang (Zwarte Magie). Mereka segera menutup semua mata air dan akibatnya rencana Portugis tidak dapat dilaksanakan. Portugis kemudian meninggalkan Paperu. Sepeninggal Portugis datanglah bangsa Belanda.

Pada waktu bangsa Belanda berkuasa di Maluku, mereka memerintahkan agar semua penduduk yang berada dan berdiam di gunung harus turun dan tinggal di tempat yang datar dan harus berdekatan dengan pantai. Demikian halnya dengan penduduk negeri Paperu.

Belanda memerintahkan agar raja Latusalisa turun menghadap mereka dikapal. Tetapi raja tidak mau karena benci pada penjajah. Raja kemudian menyuruh Hitirissa turun menghadap Belanda menurunkan semua orang berdiam digunung. Untuk membuktikan kepada mereka bahwa Hitirissa telah diberi kekuasaan penuh dar Belanda, maka ia diberikan lilitan rotan dikepalanya serta pakaian dan tongkat kebesaran. Dengan kata lain Hitirissa telah diberikan kekuasaan/dinobatkan oleh pemerintah Belanda selaku seorang raja. Kemudian Hitirissa kembali ke gunung dan segera melaporkan hal tersebut kepada raja Latusalissa, tetapi raja tetap tidak mau turun. Raja Latusalisa kemudian merelakan Hitirissa untuk turun besama rakyatnya. Sedangkan raja Latusalisa sendiri tinggal menjaga negeri lama/gunung sebagai seorang Kapitan bersama dengan Pelamonia Waelo yang tinggal menjaga air tua mereka. Rakyat kemudian turun berangsur-angsur dari gunung. Kemudian Hitirissa mengganti namanya menjadi Lawalata yang artinya pergi/turun ke rata. Dan tempat yang mereka diami itu, adlah Moloul yang artinya permintaan. Meskipun rakyat telah turun dirata dengan rajanya Lawalata, tetapi hak dan kekuasaan raja digunung tetap dijaga. Oleh sebab itu telah ada 2 perintahan yaitu:


A. Pemerintahan digunung dipegang oleh Raja Latusalisa
Kapitan atau raja Latusalisa/Luhukay tetap tinggal digunung. Ia sangat disegana dan dihormati, oleh sebab itu dia dipandang sebagai Kapitan Tua. Sewaktu-waktu apabila terjadi sesuatu hal yang kurang beres diadalam negeri, raja Latusalisa tetap turun tangan. Jadi seolah-olah raja Lawalata hanya merupakan simbol saja. Tetapi dalam hal ini Lawalata mengetahui hak-hak raja Latusalisa, karena Latusalisa yang menyuruhnya menghadap Belanda dan dialah anak yang telah diangkat oleh raja sendiri. Karena negeri telah terbagi menjadi 2, yaitu digunung dan dirata, maka raja Latusalisa menunjuk seorang sebagai Kapitan Muda untuk membantuanya dan juga sekaligus membantu raja Lawalata. Dan sebagai Kapitan Muda dipilih Pattipawaey.

B. Pemerintahan Negeri Paperu dipegang oleh Raja Lawalat
Negeri diperintahi oleh raja Lawalata. Hutan dan negeri digabai atas 2 bagian yaitu:
1. Untuk daerah hutan disebtu: - Hutan bagian muka
- Hutan bagian belakang
2. Untuk daerah negeri disebut: - Titila
- Upalatul
Sebagai penjaga batasan kedua bagian hutan ini ditunjuk 3 orang yang berdiam di Batu Meja Sebilan dekat Hatulo (Hatul). Ketiga organg itu adalah:
- Takakumu
- Takakia
- Takakora
Didalam pemerintahan, raja memilih pembantu-pembantunya, antara lain:
1. Tenuhua: Dia adalah merupakan orang pintar yang diplih menjadi tangan kanan raja dan bertugas sebagai protokol. Tenuhua yang dipilih ialah Pattipawaey, mereka terkenal dengan nama Tenuhuan Puputol. Anak buah mereka ialah: Mayat, Tuhepary dan Toisuta.
2. Soa: Ada 9 buah soa yang dipilih yaitu:
1. Soa Lawalata atau Soa Raja
2. Soa Luhukay
3. Soa Sopamena
4. Soa Kepil
5. Soa Siahanenia
6. Soa Tentua
7. Soa Simalopte

* Catatan: Sebenarnya ada 9 buah soa menurut adat Pata Siwa, tetapi soa yang 4 sampai 7 telah hilang keturunannya kemudian pada saat ini sudah ada soa Parinussa, Maelissa, Mayaut. Masing-masing soa dengan tugasnya tersendiri-sendiri. Sebelum soa Kepil hilang, ia mendapat tihul-tihul atau tempat-tempat yang khusus untuk membuat Sero. Sedangkan batasan tanjung Paperu sampai di Hauhola dijaga oleh kepala-kepala soa yang lain.

3. Marinyo: Marinyo biasanya dapat dipilih susuka raja, jadi tidak menurut keeturunan. Karena itu, seorang manrinyo harus setia dan rajin. Marinyo disuruh menjaga Walo termasuk labuhan Raja. Dalam melayani keperluan raja sehari-hari, raja biasanya memili 4 orang Hakaki dan 4 orang Kuarto.
4. Hakiki: Yaitu orang perempuan yang dipilih dan ditugaskan untuk mencuci pakaian dan membuat makanan raja dan untuk keluarga raja.
5. Kuarto: Yaitu orang laki-lai yang bertugas membantu dan menolong raja membuat sero dan lain-lain keperluan raja, misalnya: memoton kayu, membuat ekbun dan lain.
6. Kewang negeri dll. Selain pembantu-pembantu raja diatas maka kedudukan kewang adalah sangat besar artinya dalam negeri, karena tugas-tugas kewang adalah berhubungan dengan persoalan Kapitan Tua digunung. Negeri Paperu juga terikat pada adat didalam menjalankan adat ini dibagi atas 2 bahagian yaitu

A. Hal-hal yang dijalankan oleh kewang:
Misalnya: cuci air tua, Baelo, sasi-sai labuhan tanaman/pohon-pohon yang berada di hutan. Susunan kewang terdiri dari anak-anak Hurumalessy, yang dibantu oleh beherapa orang lain. Anak-anak Hurumalessy ialah yang mula-mula datang dan menetap digunung. Mereka selalu memegang peranan dalam acara-acara adat diatas.
Susunan anak-anak Hurumalessy sbb:
1. Luhukay - Latusalisa
2. Pelamonia - Waeleo
3. Pattipawaey - Tenuhua - Puputol
4. Mayaut - Tuni
5. Tuhepary- Sela
6. Toisuta - Latu

* Catatan: Kedudukan Baeleo dan adat-adat negeri disesuaikan menurut Patasiwa di Seram Barat. Disamping susunan diatas, maka ada beberapa bagian yang perlu dibicarakan pula yaitu: -

B. Hal-hal yang dijalankan oleh Kapitan.
Kedudukan Kapitan dipegang oleh 2 orang yaitu
1. Kapitan Tua ialah Latusalisa/Luhukay dengan anak buahnya yaitu Pelamonia Waleo
2. Kapitan Muda ialah Tenuhua-Puputol/Pattipawaey dengan anak buahnya yaitu Mayaut, Tuhepary dan Toisuta.
Kapitan dipilih sebagai kepal Kewang dan hingga kini yang menjadi, kepala kewang ialah turunan Latusalisa/Luhukay dan turunan Tenuhua/Puputol/Pattipawaey.

Sebagai satu contoh dalam upacara-upacara adat atau sembayang negeri, biasanya perkataan-perkataan dimulai dengan ucapan:
"Nusa Kumbang Siri Halimbang Patti, Nyai Rone Bunga Rone, Anjing 99, Risal Amane Latusalisa, Pelamonia Waeleo, Pattipawae Tenuhua Puputol, Mayaut Tuni, Tuhepary Sela, Toisutta Latu, dst

7. Raja:
Raja adalah orang yang dipilih dan dinobatkan untuk memerintah dan bertanggung jawab atas sebuah negeri. Dalam hal ini raja bukan dimaksudkan untuk suatu kerajaan, tetapi untuk sebuah negeri. Yang mula-mula memerintah di negerie ialah raja Hitirissa/Lawalata. Dari keturunan ini ada 13 orang yang berkuasa berturut-turut. Kekuasaan raja-jraja tersebut sbb.:
- Raja 1: Hitirissa/Lawalata: Ia memupnyai 3 orang anak yaitu: Malapon, Mairissa dan Khayela (anak perempuan). Sesudah Hitirissa turun takhta, ia digant oleh anaknya.
- Raja 2: Malapon. Sesudah itu ial diganti oleh saudarnya
- Raja 3: Mairissa. Pada waktu pemerintah raja Mairssa, agama Kristen masuk di Lease, yang dibawah oleh orang Porutis tahun 546. Negeri yang pertama menerima agama Kristen ialah negeri Ulath. Seminggu kemudian Portugis ke Paperu dan mereka diterima oleh raja Mairissa. Raja Mairissa kemudian dibaptiskan dengan nama kristennya ialah Matheos, karena Mairissa adalah nama Hindu. Berhubungan dengan keturunan Mairissa semuanya merantau, maka tak ada orang yang menggantikannya. Akhirnya turunan Malapon yang memerintah selanjutnya sampai pada pemerintahan yang 13. Kemudian Mairissa diganti oleh raja keempat.
- Raja 4: Johannis Pieter Anakotta/Lawalata. Raja inilah yang diutus oleh raja Latusalisa dalam perang Iha. Dialah yang menyerahkan tanah Iha kepada rakyat, akibat perang melawan Hatibe Patti (Kapitan Iha)
- Raja 5: Marcus Nusa
- Raja 6: Baztian Tarupia
- Raja 7: Pieter Pattiheu: Raja inilah yang menjual tanah Iha yaitu tanah Mahuputty (diperbatasan Noloth) kepada Haulussy dari Ihamah. Raja ini kemudian diganti oleh raja-raja berikutnya sampai pada raja ynag ke 12.
- Raja 12: Frans Marawael. Pada waktu pemerintahan raja Frans ini, terjadi suatu peristewa lagi yaitu seorang anak yang dipeliharanya membuat uang palsu bertempat di Leang Erwa. Didalam Leang ini banyak sekali terdapat alat-alat pencetak uang, baik batu maupun perak. Hal ini diketahui oleh Belanda. Setelah diadakan penyelidikan, raja Frans dituduh dan ditangkap kemudian dijatuhi hukuman. Juga ditetapkan bahwa keturunan Hitirissa/Lawalata tidak boleh lagi memerintah selanjutnya. Oleh sebab itu ia kemudian digant oleh seorang raja dari lain keturunan. Lebih jelas lagi turunan Malapon tak boleh lagi memerintah.

Paperu dalam hubungannya dengan perang Iha
Pada waktu penjajah Belanda, dapatlah dikatakan bahwa semua raja takluk dibawah kekuasaannya. Hanya di pulau Saparua ada seorang raja dari Iha dengan kapitannya yaitu Hatibe Patti yang sangat ditakuti oleh Belanda, karena kekebalannya. Berkali-kali Belanda menyerang tetapi gagal. Kapitan Hatibe Patti memang seorang kapitan yang sudah terkenal dengan kekebalannya itu. Belanda kemudian mengadakan perundingen dengan semua raja-raja di Lease.

Dalam perundingan itu, semua raja-raja takut untuk berperang melawan Hatibe patti dengan tentaranya. Maka oleh Belanda ditunjuk raja paperu dengan kapitannya Kamlau Taratara atau dengan nama aslinya Sopamena Tupano dari negeri Hulaliu (pela) yang menjadi anak mas dari raja/kapitan Latusalisa. Kapitan Kamlau Taratara ini terkenal juga dengan kekebalannya. Sementara rakyat masih berunding, Belanda datang dan langsung menangkap dan mengikat raja Johannis Pieter Anakota/Lawalata yang pada waktu itu sedang memerintah. Belanda lalu mengeluarkan ultimatum kepada rakyat bahwa bilamana mereka sanggup membawa lidah dari kapitan Hatibe Patti ke kapal, barulah raja dilepaskan. Tetapi bilamana mereka tak sanggup maka raja akan dihukum gantung oleh Belanda.

Raja/kapitan Latusalisa digunung lalu turun tagen, dan ida sanggup memberi pengorbanan. Latusalisa lalu menyerahkan dan melepaskan anka masnya yaitu Kamlau Taratara (Sopamena) untuk memimpin pasukan pergi berperang melawan kapitan Hatibe Patti. Beberapa hari kemudian bertolaklah kapal Belanda dengan pasukan dari Paperu yang berjumlah 999 orang dibawah komando kapitan Kamlau Taratara. Hanya tinggal beberapa orang untuk menjaga negeri Paperu, yaitu raja/kapitan gunung, Latusalisa/Luhukay serta semua anak Hurumalessy.

Kapal yang membawah pasukan Paperu tersebut berlabuh di labuhan Tuhaha (pantai Hataweno). Segera pasukan diturunkan dan mereka lalu mengatur posisi untuk berperang. Belanda tidak turun berperang, tetapi mereka berfungsi seakan-seakan hanya sebagai juri dan hakim saja. Kapitan Kamlau Taratara telah mengetahui politik Belanda, dan ia segera mengerahkan pasukannya untuk bertindak bilamana perlu. Kapitan Kamlau Taratara tidak melakukan penyerangen dengan segera, tetapi ia hanya bermaksud menguju sampai dimana kebalnya kapitan Hatibe Patti itu. Dengan beberapa anak buahnya kapitan Kamlau Taratara maju menjumpai kapitan Hatibe Pattti dan ternyata Kapitan Hatibe Patti telah mengetahui maksud kapitan Kamlau Taratara mereka ditegur dengan suatu suara dan nada yang kasar, tetapi disambut dengan suatu tertawa oleh kapitan Kamlau Taratara. Kemudian mereka mulai mengadu kekebalan masing-masing, misalnya siri pinang diberikan dengan ujung parang, begitu pula makanan. Api terpencar dari parang-parang mereka, dan ternyata kekebalan mereka sepandan. Selesai hal tersebut diatas, peperangen dimulai.
Berkali-kali Kamlau Taratara menyerang, tetapi gagal meskipun banyak sekali pasukan dan anak buah Hatibe Patti yang tewas. Kamlau Taratara kemudian mencari akal merobah siasat perang. Kamlau Taratara berusaha untuk mengetahui dimana letak kelemahan pada anggota tubuh Hatibe Patti dan dimana pula tempat yang bisasa digunakan untuk mandi. Akhirnya Kamlau Taratara mengetahui bahagian leher dari Hatibe Patti yang tidak mempan parang dan tempat maninya disebuah mata air diujung negeri Itawaka, yaitu air Potang-Potang.

Kamlau Taratara memerintahkan anak buahnya untuk mengatur daun sagu desepanjang jalan yang biasa dilalui oleh Hatibe Patti. Mereka kemudian menunggu kedatangan Hatibe Patti dengan tak sabar. Beberapa hari kemudian, saat yang dinantikan tiba, dan pasukan Kamlau Taratara bersembunyi dan bersiap-siap untuk menyergap Hatibe Patti. Hatibe Patti yang tidak mengetahui siasat ini lalu segara meloncat, tetapi malang baginya ia tergelincir dan jatuh. Kesempatan inilah Kamlau Taratra mulai beraksi. Dia meloncat dan memengagal leher Hatibe Patti. Kapitan Hatibe Patti tewas dan lidahnya dipotong. Pasukan Kamlau Taratara segera menyerbu kubu pertahanan tentara Iha dan dengan mudah dapat mengalahkan mereka karena pemimpinnya telah tewas. Dengan tewasnya Hatibe Patti, maka Iha tidak berkuasa lagi, tetapi diganti dengan Belanda.

Dengan demikian berakhirlah perang Iha. Setelah Kapitan Kamlau Taratara menyerahkan lidah dari Hatibe Patti kepada Belanda, maka raja negeri Paperu Johannis Pieter Anakotta/Lawalata dibebaskan dan tanah Mahu dihadiakan kepada Paperu (tanah yang berbatas dari pantai Iha/Postbril sampai dipantai Mahu/kampung Mahu). Kemudian pasukan Kamlau Taratara dan raja Johannis Pieter Anakotta/Lawalata tinggal menjaga negeri/tanah tersebut. Mereka tinggal di Noloth, tetapi jumlah mereka hanya tinggal beberapa orang saja. Mereka tinggal kira-kira 200 tahun lamannya. Pada tahun 1818, sisa penduduk negeri Paperu yang berdiam di Noloth kembali ke negeri Paperu dengan jumlah 82 orang saja. Hanya ada 1 mata rumah yang tidak mau kembali lagi ke Paperu, dan mereka adalah mata rumah Lawalata yang menetap menjadi penduduk negeri Noloth hingga kini.

• Catatan: Cerita diatas tentang mendiami orang Paperu di Noloth, itu dilihat dari fihak Paperu, tetapi fihak Mahu berbeda darinya sekali. Menurut Paperu sisa penduduk negeri Paperu (82) berdiam die Noloth 200 tahun, dan sehabisnya mereka pulang ke Paperu. In heran sekali. Mengapa orang mau tinggal 200 tahun di tanah orang lain hanya untuk menjaga satu tanah. Hal lain yang heran juga, itulah tentang 82 orang yang pulang ke Paperu. Kalau ini benar, mereka berdiam 200 tahun tanpa beranak-anak??

Menurut histori . pada waktu pemerintahkan raja Pieter Pattiheu, raja ini menjual tanah Mahu kepada Haulussy dari Ihamahu. Ini menerangkan beberapa peran antara Ihamahu dan Mahu. Orang Mahu yang sudah berdiam di Mahu mungkin tidak setuju dengan perbuatan raja ini".

Pada waktu kembalinya rakyat Paperu dari negeri Noloth itu, negeri Paperu sedang diperinta oleh raja paulus Latumaelissa. Setelah mereka tiba di Paperu, mereka menamam 4 batang pohon beringin pada ujung-ujung Negeri. Maksud mereka dengan menanam pohon itu ialah agar dapat dijadikan sebagai suatu tanda nisan yang dianggap pamale (tempat bagi negeri) untuk dipuja, dan juga untuk menangkis serangan bahaya dan penyakit yang datang dari luar.

Pada tahun 1823, mulailah diadakan pembagian tanah-tanah dati dan register dusun, yang dibuat oleh raja Paulus Latumaelissa dengan juru tulisnya yaitu: Isak Pattiselanno. Penduduk asli banyak kehilangan tanah-tanah datinya, berhubung mereka tidak mau memasukan semua dusun didalam register negeri. Sebab mereka tahu pasti pajaknya akan bertambah besar bila banyak dusun yang dimasukkan ke dalam register. Akhirnya raja mengabil tindakan kebijaksanaan yaitu memeberikan sisa tanah dan dusun yang tak ada diregister, kepada orang-organg yang belum mempunyai tanah atau dusun. Oleh sebab itu, Pattiselanno banyak sekali mendapat tanah bagian sebab dia adalah juru tulis yang membantu raja dalam pemerintahan. Raja Paulus Latumaelissa ini, kemudian diganti oleh putranya yaitu: Isak Latumaelissa, tetapi ia difitnah oleh rakyat dan akthirnya ia turun tahkta.

Rakyat kemudian menuntut agar pemerintahan dipegang oleh salah seorang dari keturunan raja Mairissa yang dulu yaitu seorang guru kepala yang sementara berdiam di negeri Sameth (Haruku) yaitu Johannis Latumaerissa. (poetiray/guruh sekolah di Paperu). Sesudah ia diganti oleh putranya yang bernama Manuel Latumaaerissa. Sesudah itu raja Manuel diganti oleh putranya yng bernama Elisa Latumaerissa. Raja Elisa ini dalam pemerintahannya, ia bersama beberapa anak negeri sendiri dituduh oleh pemerintah, bahwa mereka turut membantu tentara RMS yang memang pada waktu itu sedang beroperasi disemua pelosok daerah Maluku, terutama di daerah Maluku Tengah. Oleh sebat itu, mereka ditangkap dan diasingkan ke pembuangan di Pulau Jawa.

Maka untuk sementara waktu, pemerintahan diatur oleh wakil pemerintah negerie yaitu: Jacob Sopamena, dan karena belum ada orang dari keturunan raja yang dapat menaiki tahkta pemerintahan maka pada tahun 1965, atas bantuan dan kerjasama antara rakyat dengan beberapa tokoh masyarakat asal negeri Paperu, maka terpilihlah seorang raja dari keturunan raja Latusalisa/Luhukay yaitu: raja Justus Luhukay, ia mati tenggelam dengan kapal Tampung Mas, dalam bulan Januar , tahun 1981. Hingga kini pemerintah negeri Paperu dipegang oleh D. Pattipawae, wakil pemerintah.
oleh: Kireks 


Tidak ada catatan tertulis ataupun kapata yang menyebutkan perihal kedatangan orang pertama dinegeri Louhata Amalatu Siri Sori Islam, tetapi dalam cerita-cerita lama banyak mengisahkan tentang orang-orang yang mula-mula mendiami desa Siri Sori Islam adalah orang-orang sakti, dalam pengertian karena mereka adalah orang-orang yang memegang teguh ajaran Islam baik dalam hal ibadah maupun penerapannya dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, dan memiliki Karamah yang dianugrahi oleh Allah SWT.
Mereka diantaranya adalah :

1.Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana Berasal dari Bagdad Iraq, beliau meninggalkan negeri asalnya bersama Syeh Abdul Aziz Assagaf ( Maulana Malik Ibrahim ) sekitar abad ke 12 M dengan tujuan menyiarkan Agama Islam Keseluruh penjuru dunia.
Sekitar tahun 1212 M, mereka tiba disamudra Pasai Aceh. Syeh Abdul Aziz Assagaf menetap di Aceh, sedangkan Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana melanjutkan perjalanan menuju wilayah Timur dan tinggal didaerah Buton Sulawesi Tenggara ( 1213 M) dan mendapat gelar Ode Bunga (Ode Funa).

2. Zainal Abidin Al- Idrus
Berasal dari Bagdad Irak, tiba disemenanjung Malaysia pada tahun 1212M, kemudian menuju ke pulau Sulawesi dan sampai didaerah Selayar sekitar tahun 1214 M dengan misi yang sama yaitu menyiarkan Agama Islam.
Akibat perang antara kerajaan Goa di Makassar dan Kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara, maka Zainal Abidin Al Idrus bertemulah dengan Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana, keduanya kemudian sepakat untuk meninggalkan pulau Sulawesi dan menuju Maluku (Almuluqun). Untuk melanjutkan misi yang sama yaitu menyebarkan Islam secara lebih luas lagi.

Sampai dikepulauan Maluku keduanya singgah di Nusa Ina (Pulau Saparua) tepatnya di negeri Louhata Amalatu digunung Elhau yang pada waktu itu belum mempunyai nama. Digunung inilah Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana mendirikan kerajaan Ama Iha, dengan gelar Sayyidna Baraba. Selama memimpin kerajaan Ama Iha beliau menikah dengan Nyai Mara Uta adik dari raja Pati kaihatu dari negeri Oma Pulau Haruku. Dari perkawinan ini beliau memperoleh 5 orang anak terdiri dari 4 putra dan satu putri yaitu :
-Nunu Mahu, yang kelak dikemudian hari menurunkan marga Wattihelu (cikal bakal marga Wattiheluw)
-Tabdede(Tablele) kelak dikemudian hari menurunkan marga Latuconsina dinegeri Pellau pulau Haruku.
-Haris Hamza mendapat gelar Kapitan Juma’ate dinegeri Laimu Pulau Seram.
-Musa Hari Mullah ( Kapitan Kawal) yang kemudian menurunkan marga Wattihelu, sopacoa, sopacoaperu dan talawa( dikisahkan kapitan Kawal tidak pernah menetap disuatu tempat) beliau selalu bepergian untuk menjelajahi seluruh wilayah Nusantara dan disetiap daerah dimana beliau singgah dan menetap selalu meggunakan nama yang berbeda .
-Mananeuna (anak perempuan satu-satunya)menikah dengan kapitan Raiyapu yang menurunkan marga Toisuta.

Zainal Abidin Al-Idrus
Di kerajaan Ama Iha bergelar “ Somallo “
Beliau menikah dengan Nyai Wasolo (putri Paku Alam dari Kraton Solo). Mereka dikaruniai seorang putra bernama Bahrun. Dan dari Bahrun ini yang kemudian menurunkan marga Holle di Siri Sori Islam.

Akibat perang antara Uli Lima dan Uli siwa, maka Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana dan Zainal Abidin Al-Idrus meninggalkan kerajaan Ama Ina.
Secara Syariat Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana meninggalkan kerajaan Ama Ina, Tapi secara Hakekat beliau mengangkat dan berangkat bersama kerajaan Ama Ina menuju tanah Papua daerah Rumbati.(dikelak kemudian hari anak cucu dari rumbati ini akan mencari tanah asal leluhurnya di Ama Iha Pulau saparua, dengan cara mencocokkan tanah yang diabawahnya dari Rumbati, yang ternyata adalah tanah dari Rumbati itu adalah tanah Ama Iha juga yag dahulu dibawah oleh Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana Saniki yarimullah dari Ama Ina menuju Rumbati).
Sedangkan Zainal Abidin Al-Idrus menuju pulau seram bagian selatan tepatnya di negeri Sepa. Disini beliau mendapat gelar Kapitan Tihuruwa (kapitan dari saparua).
SYEH ABDURRAHMAN ASSAGAF MAULANA DI TANAH PAPUA

Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana Secara hakekat membawa istri dan kerajaan Ama Iha menuju tanah Papua (Tanah Rumbati Yoni Epapua) sekarang masuk wilayah Fak-Fak.
Beliau menginjak kaki kirinya ditanah Geser dan kaki kanannya langsung ditanah Rumbati.
Sedangkan ke lima orang anaknya tetap tinggal ditanah kerajaan Ama Ina( negeri Louhata Ama Latu Desa SSI ).
Dirumbati beliau menyiarka Agama Islam Sekaligus mendirikan kerajaan Woni Epapua dan bergelar “ Koneng Papua “(putra dari Khayangan).
Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana (dikenal juga dengan nama Maulana Saniki Yarimullah) selama berada di Rumbati bersama Nyai Marauta memperoleh Sepuluh Orang anak (tujuh laki-laki dan tiga orang anak Perempuan).
yaitu :
1. Masbait Pusan alias Masapait /Aliwanta Marga Patty di SSI
2. Hahosan alias Abu Hasan Alias Abuasa : bermarga saimima di Ssi
3. Mera Lau : Kapitan Nua Uruwo ( Alifuru ) dipulau Seram
4. Raja ampat Kerajaan Misol ( kepulawan Raja Ampat)
5. Raja Anggaluli : Marga Saimima di Anggaluli Fak-Fak
6. Raja Patiran : Di rumbati Fak-Fak
7. Poi Masa : Marga Maspait Islam,Marga Maspaitela nasrani didesa Key
8. Poi Waru : Raja Fak-Fak ( Marga patagars )
9. Poi sina Raja Kokas (marga Pattimura) dikokas Fak-Fak
10.Kasihanilale (Sultan Banda) : yang kemudian menurunkan marga Patty di Alang pulau Ambon, marga Latu dipulau Seram, dan marga patty di timor-timor).

Pada Akhirnya, Masapait, Aliwanta, Hahosan(Abuwasa), Mera Lau dan Poi Masa pergi meninggalkan Rumbati untuk mencari saudara-saudara mereka yang masih bermukim di dikerajaan Ama Ina (negeri Siri sori Islam).
KAPITAN SILALOI
(LOHILO MANUPUTI/SALATALOHY)


Salah satu kapitan dari tanah papua desa rumbati yang berasal dari suku Ala melakukan perjalanan menuju Seram selatan tepatnya di negeri Hatumeten. Kemudian menikah dengan Nyai Tolansa, dan dari perkawinan itu dikaruniai tiga orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan yaitu:

1.Timamole
2.Simanole
3.Silalohi (lohilo manuputi)
4.Nyai Intan
5.Nyai Mas

Setelah dewasa ketiga orang anak laki-lakinya sepakat untuk pergi meninggalkan Hatumeten. Niatnya ini disampaikan kepada kedua orang tua mereka, sang ibu kemudian mengambil sebuah mangkok untuk membuat sumpah janji dengan meminum tetesan darah dari jari-jari tangan ketiga saudara tersebut, adapun sumpah janji itu antara lain berisi:
Tiga saudara adalah satu gandong(kandung)
Dimanapun mereka berada mereka harus saling melihat antara satu dengan yang lain

Sumpah janji ini bersifat mengikat sampai dengan anak cucu secara turun temurun, kemudian ketiga saudara tadi pergi meninggalkan kampung halamannya di negeri Hatumeten.
Sampai di Hatumari ibu mereka menampakkan diri sedang memegang sebuah mangkuk dan tempat tersebut kemudian dinamakan hatumari. Letaknya kurang lebih disebelah timur negri Tamilou dipulau seram kabupaten maluku tengah. Disinilah Timanole menetap dan berkuasa.

Sementara dua saudaranya yang lain yaitu Simanole dan Silaloi melanjutkan perjalanan menuju nusa Iha di pulau Saparua, dan tiba di bagian timur nusa Ina tepat nya di Siralou (batu Ananas)kemudian Silaloi turun dan naik kegunung Ama Ina(gunung Elhau) bekas kerajaan Ama Ina dan kemudian menetap disitu.

Sedangkan Simanole melanjutkan perjalanan menuju nusa yapono di pulau Ambon kemudian menetap dinegeri Toisapu di Hutumuri (Toisapu dapat diartikan menyelupkan orang kedalam air berkali-kali sampai meninggal karena dianggap mata-mata musuh)
Tidak lama kemudian kedua saudara perempuan yaitu Nyai Intan dan Nyai Mas menyusul mereka. Nyai Mas Sampai di Ama Iha dan menetap dengan Silaloi, Kemudian menikah dengan kapitan Manuhutu dari negeri haria. Sedangkan Nyai Intan terus melanjutkan perjalanan mencari saudaranya Simanole sampai bertemu kemudian menetap bersama Simanole dan menikah dengan kapitan Bakar Besi dari nergeri Waai

Sebagai catatan salah seorang kapitan yang menetap di Ama Iha adalah Ulama’ besar dari daerah Tuban Jawa Timur yaitu Abdullah Sopaleu. Suatu ketika kapitan Abdullah Sopaleu ini mengumpulkan para kapitan di Ama Iha dan mengambil inisiatif sebagai pemimpin pertemuan dan bergelar Pikalouhata.
Ana Latu Warua (Dua anak Raja)


Akibat perselisihan antara kapitan Huameseng dengan raja patiran dikarenakan Hua meseng ingin menikah dengan Poimasa (sala satu saudara perempuan dari sepuluh bersaudara ) ditolak oleh raja patiran sekitar tahun 1283 M, Hahosan, Maspait, Merah lau, serta Poi Masa sepakat meninggalkan kampung halaman(desa Rumbati tanah Papua) untuk mencari saudara-saudara mereka yaitu
Nunu Mahu
Tablele
Haris Hamza
Musa Harimullah(kapitan kawal)
Mananeuna

Menuju kerajaan Ama Iha di Nusa Ina (Saparua)
Sebelum berangkat, mereka mengambil tanah atau Pasir yang ada di Rumbati untuk dibawa serta dengan maksud untuk dicocokkan / ditimbang dengan tanah di setiap tempat yang kelak mereka singgahi, apabila tanah yang mereka bawa terdapat kesamaan/cocok dengan tanah setempat berarti itulah tempat yang mereka cari dan mereka akan menetap disitu.
“Turu lau haito aru laino nepayuna poli-poli,Hi inu sengge yara laa malu-malu, Sooto sa’a tana poli-poli, Poli – poli se emanu laa oo
Timi hatu waiye loto yoni nepapua, Latu taha muli umarole sawa
waelo mara bone oo”

Pada waktu yang telah ditentukan berangkatlah mereka menuju pantai, kemudian Hahosan(Abuwasa) menggambar sebuah perahu diatas pasir, saat pasang air laut menyentuh gambar perahu seketika gambar perahu itu berubah menjadi perahu sungguhan dan siap untuk dipergunakan.
Keempat kakak beradik itu naik kedalam perahu (poli-poli) berlayar meninggalkan kampung halaman serta kedua orang tuanya untuk berlayar mencari Ama Iha di Nusa Iha(pulau Saparua), dengan menyusuri Nusa Ina (pulau seram), Nusa Yapono (pulau Ambon), Pulau Haruku dan pulau Banda. Adapun beberapa tempat yang sempat mereka singgahi selama perjalanan antara lain:

-Seram Laut daerah Geser di seram Timur
-Geslau,Hatumete di Seram bagian timur tepatnya di Werinama
-Pantai Salaiku negeri Haya di Tehoru
-Pantai Hatumari di negeri Tamilou seram selatan
-Tanjong Koako di Desa Amahai Seram selatan
Sementara mereka singgah untuk beristirahat di Tanjung Koako, Amera lau pergi mencari Kusu(sejenis binatang koala yang dalam bahasa SSI disebut makello)
- Air Nua(waenua) disini mereka bertemu dengan kapitan Tihirua (kapitan dari Saparua bernama Imam Zainal Abidin Al-Idrus), kemudian Amera lau menetap diwilayah itu tepatnya di negri Sepa (seram selatan) dan manjadi Malesi(pengawal) Imam Zainal Abidin al-Idrus dan bergelar Nuo Huruwo (putra/kapitan)
-Tanjung Sial ujung seram bagian barat atau tanah Huamual. Tanpa Amera lau mereka tiba ditanjung sial dan bertemu dengan kapitan tanjung sial kemudian mereka bertanya dimana letak nusa Ina, dan kapitan tanjung sial kemudian menunjuk latu soumete sebagai penunjuk jalan menuju nusa Iha
-Pantai Honimua di desa Liang pulau ambon
-Tanjong Pesirolo(batu kapal) dipulau Haruku

“Yale wati noue tetu sallo emamanu,
Yale tau otetewa tetu emamanu tetu pisarole
Latu sopamena..usa latu sopamena pele mena ,latu pele mena
Usa latu pele mena epala tota ina latu semia lewe rua oo
Uwa leuwa rua nusu hale hehi yai otonno sane…
Tali telwo sane ninitanno ina latua nirupanno
uwaleu rua mitati ina latua wau upu usa latu…
Usa latu soka ina latua,soka ina latua …emi ruhu tua ina latua
Usa latu hotu hita erehuwe
Hita erehue tau ina latua
Uwa leu warua taha rimbu timi esa,
tati ina latua wau usa latu
Usa latu soka ina latu
Soka ina latu emiruhu tua ina latua
Latwa taha muli umarole sawa wailo marabone
Lawa hasa-hasa hehi nusa ina”

Disekitar batu kapal mereka mendapat rintangan dari pengawal kapitan Huameseng berupa Husamaulo yakni seekor ikan paus yang menghalangi perjalanan mereka. Yang menghendaki Poimasa (nyai intan) untuk terjun kedasar laut bersamanya. Mereka mengelabui Husamaulo dengan jalan membuat boneka dari kayu yang menyerupai Poimasa, tapi siasat ini tidak berhasil karena Husamaulo tambah marah dan membuat air laut berombak besar sampai membahayakan perahu mereka.
Poi masa lantas berkata kepada kedua saudaranya Abuasa dan Aliwanta” jangan hiraukan saya, turunkan saya segera untuk memenuhi permintaan Husamaulo “. Akhirnya kedua saudaranya memenuhi permintaan poimasa, kemudian diangkatlah poi masa untuk dilepaskan kelaut. Ikan Paus kemudian timbul lalu memeluk poimasa dan menyelam bersama kedasar laut tepatnya ditanjung pasirolo(tanjung batu kapal) pulau Haruku.
Dengan demikian tinggallah tiga besaudara yang tetap akan meneruskan perjalanan yaitu : Abuasa, Aliwanta,dan Soumete Tita Nusa.
Di Pulau Banda mereka singgah karena salah arah berhubung berlayar pada malam hari. Disinilah Soumete bertemu dengan Samadun(Lilimala Wakano) yang menjadi marga Sopaheluwakan di SSI, dan mengajaknya bersama-sama mencari Nusa Ina. Perjalanan dilakukan di malam hari.
Sesampai di Pantai salaiku di Ama Ina(Elhau).
Setelah tujuh hari tujuh malam dalam perjalanan sampailah mereka di Ama Ina(negri louhata Amalatu)di Nusa Ina.

Menjelang pagi mereka tiba di bagian tenggara nusa Ina. di pantai salaiku tiba-tiba mereka mendapat tegur dari darat, maka terjadilah dialog sebagai berikut:
D (darat)…sei nambe lau yemi sei nambe lau (siapa dilaut kamu siapa dilaut)
L ( laut) Yale tau otetewa yami yana latu warua turu wehe yoni nepapua( kamu tidak tahu !!! kami ini dua anak raja turun dari tanah papua)…. Sei nambe lia yale sei nambe lia( siapa didarat kamu siapa didarat)
D…(darat)..Yale tau otetewa yau lohilo manuputi turuwehe loto uamano elhau( engkau tidak tahu bahwa saya adalah Lohilo menuputi turun dari kediamanku negeri elhau)
Mae mituru mae yau wasaloomi kura sou adato(mari kemari saya terima kalian dengan adat yang ada disini), maka latu Abuwasa mengajak latu Aliwanta latu soumete dan latu samadun wakano (sopaheluwakan) untuk turun kedarat dan mereka pun disambut oleh latu Lohilo Manuputi.

Setelah mereka beristirahat sejenak Abuasa berkata kepada Aliwanta “ Heu ume tumbano epananuhu enale, ana latua sisuka sibirahi ooo”
“ turunkan tanah dan pasir kita yang kita bawah dari tanah Rumbati. Karena tanah dan pasir salaiku cocok dengan tanah pasir yang kita bawah dari Rumbati, maka mereka bersuka ria dan meminta untuk diijinkan menetap diama iha(elhau).
Catatan : Yang dimaksud tanah dan Pasir tersebut adalah tanah dan pasir dari Louhata Amalatu yang dahulu kerajaan Ama Iha dibawah oleh Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana Saniki Yarimollah ke Rumbati tanah Papua secara hakekat, karena pada saat itu Kun Fayakun berlaku sehingga jelas tanah yang mereka bawa sama dengan yang ada di Ama Ina



PEMBAGIAN WILAYAH
DAN PEMBERIAN NAMA NEGERI


Pembagian wilayah

Selesai menyambut ana latuwarua(dua anak raja Abuasa dan Aliwanta) yang datang dari Rumbati anggaluli(tanah Papua). Latu Soumete dari tanjung Sial (seram barat) dan Latu Samadun /Lilimala Wakano dari Banda (sekarang marga Sopaheluwakan di Siri Sori Islam). Mereka sepakat tinggal di Ama Iha(Elhau)Menjelang beberapa lama mereka berada di Ama Iha(Elhau) pada Lohilo manuputty ohatasou tula upu pikalouhata(suatu waktu Latu Lohilo Manuputi memberi tugas kepada Abdullah Sopaleu Pikalouhata antara lain ):
1.Pika upu lima taru-taru sei sei tua neani (satukan dan letakkan masing-masing sesuai dengan tugasnya)
2.Latu sopamena waka salaiku elai manuhua( Latu sopamena menjaga pesisir pantai salaiku sampai manuhua )
3.Latu Hahosan owaka salaiku na elai wesiolo(Latu Hahosan menjaga salaiku samapai kehutan)
4.Latu Ali wanta owaka hale manuhua elai wai hulua( Latu Aliwanta engkau menjaga mulai dari manuhua sampai air Surabaya)
5.Latu Abuasa owaka loto waitilo hena latu,(Latu Abuwasa engkau menjaga daerah Henaratu sampai di air Surabaya)
6.Upu latu Kawalo turu wehe ampatalo na hulai henalatu(Upu latu Kawal engkau menguasai benteng ampatal hingga henaratu )
7.Latu Kawalo sahu nane ulatilo utaha tumbano wae eluha(latu kawal segera menuju arah elhau dan tancapkan tombakmu ketanah sampai mendapatkan air)
8.Latu saimima otunu patamarane lia uma adato, Lia uma adat tomagola pailemahu tehuno nuru lete (Upu latu Abuasa bertugas untuk membakar lampu Patamaran sebagai alat penerang didalam Rumah adat Tomagola pailemahu teuno nuru lete)

9.Latu sahusiwa tula emi baleo( Upu latu sahusiwa persama rakyatmu)
10.Latu sahusiwa tula upu lebeo (upu latu sahusiwa bersama para hakim syariah(pengurus masjid)
11.Mae lolo oko ihiti doa wau upu lata’ala(kita bersama-sama berdo’a kepada Allah SWT)
12.Tati Rahmateo wau iko lolooko(supaya Allah SWT menurunkan Rahmat untuk kita semua sampai anak cucu kelak)
13.Lea muli na elai lau haha”(mulai dari daratan sampai dilaut)
Selesai pembagian wilayah kekuasaan Abdullah Sopaleu Pikalauhata berkata bahwa pada hari ini kita semua telah memiliki Latu/Raja yaitu Upu Silaloi (lohilo manuputi)

PERLUASAN WILAYAH

Menjelang beberapa saat datang perintah dari Upu latu Silaloi Lohilomanuputi kepada latu Abuasa antara lain:
1.Latu Abuasa kedepan untuk mengangkat para kapitan dan para malesi
2.suruh para kapitan dan para malesi untuk mengusir kapitan Aipasa dari benteng Ampatal dan keluarkan dia dari benteng itu menuju air beinusa Amalatu di desa Tuhaha. Selesai peristiwa pengusiran kapitan Aipasa, maka kapitan Aipasa meninggalkan benteng Ampatalo. Tapi didalam benteng itu masih tertinggal seorang anak perempuan yang bernama Siatuna. Ia tinggal didalam benteng, kemudian anak itu di ambil oleh kapitan Aliwanta sehingga Aliwanta mempersunting siatuna ,Dan dari hasil perkawinan tsb lahir empat orang anak yaitu :
-Masapait patty
-Patty Didi
-Patty Kakang
-Sesbakar Patty ( Catatan : Sesbakar Patty menurut mutuwao sihetu bahwa ide inusu sarane dan nalani euna Frans Bakar Kesauli, Teunno dari marga patty bernama Siatuna)

3.Perintah dari Lohilo manuputi kepada kapitan kawal supaya naik ke halasinno untuk memukul mundur musuh sekaligus mengusir orang2 yang ada di halasinno untuk keluar meninggalkan halasinnno.
Untuk menuju ke halasinno kapitan kawal tidak bisa melewati benteng henaratu, atas saran dari latu Abuasa supaya kapitan kawal dibusur dengan ranting kayu dan memakai tali berwarna hitam dan alat busur tsb dipasang di tempat yang bernama wati.( catatan : Busur dari ranting kayu ditarik hingga melengkung (eheru), sehingga kapitan kawal bermarga Watiheru atau watihelu ). Dengan bantuan alat tsb kapitan kawal dapat diterbangkan sehingga melewati benteng henaratu dan masuk ke lokasi halasinno serta berhasil mengusir orang2 yang ada di halasinno. Sebagian dari mereka lari ke Nusalaut dan mendiami negerinya yang sekarang bernama Leinitu. Sebagian lagi menuju ke nusa ina (pulau seram) bagian barat dan bermukim di kairatu, sebagian yang lain menuju pulau haruku dan mendiami negeri sameth sampai sekarang
4.Latu lohilo Manuputi menyampaikan perintah kepada latu Abuasa untuk mengumpulkan para kapitano dan para malesi di Elhau.

Dalam pertemuan di elhau latu lohilo manuputi menyampaikan kepada para kapitan dan malesi antara lain:
kalian para kapitan dan para malesi, sekarang ini kalian harus masuk ke benteng lisaboli kakelisa, pukul mundur dan usir mereka dari puncak gunung urputil atau tetuwalo. Perintah pengusiran atau pengosongan benteng karena letaknya sangat dekat dengan elhau (+ 3km) arah selatan benteng elhau. Para kapitan dan malesi berhasil memukul mundur dan mengusir keluar orang2 yang ada dalam benteng. Akibat dari penyerangan ini maka timbul dendam dan terjadi serang-menyerang antara anak cucu louhata amalatu(SSI) dengan Lisaboli kakelisa (Negeri Ouw) untuk memperluas batas tanah atau batas negeri masing-masing.

Sekitar 1633 M pemerintahan belanda memerintahkan orang2 yang mendiami daerah hutan/gunung momolonno untuk turun dan membuat negrinya pada batas yang sering terjadi sengketa antara negri Louhatta Amalatu dan negeri Ouw.
Negri yang baru itu diberi nama Ulath karena penduduk negri berasal dari gunung atau ulatilo

PEMBERIAN NAMA NEGERI

Setelah latu Silaloi (Lohilo Manuputi/Salatalohy) dan Abuasa Saimima dengan kawan-kawannya berhasil memperluas daerah kekuasaannya, maka latu Silaloi dan Abuasa membuat kesepakatan untuk disampaikan kepada para kapitan dan malesi, yaitu kita semua pada hari ini turun meninggalkan gunung, dan kita jangan bersembunyi di gunung Elhau, Henaratu dan Ampatal. Kita semua sesegera turun ke pesisisr pantai untuk membangun negeri disana. Mendengar perintah itu serentak semua turun menuju pantai hunimua, disinilah latu Silaloi berkata: “para kapitano tula malesio itupa ilou weko he-e ihua ta a kusoulo sane, itaru kuamanno wehe nayanno”. (Para kapitan dan malesi, kita kumpul disini untuk mengatur dan memberi nama negeri kita).
Ana latu warua Upu latu Abuasa berkata “ Malepa ito ku amanno wehe nayanno Louhata Amalatu” kami sala satu dari dua anak raja Upu Abuasa memberi nama negeri kita ini dengan nama Louhata Amalatu.

Arti dan maksud dari nama Louhata Amalatu :
Lou= asal kata …..louwe (berkumpul)
Hata= asal; kata dari Hata‘a artinya angkat kaki dari tempat persembunyian di gunung-gunung.
Amalatu= bapa raja. mereka yang datang berkumpul atau bermusyawarah adalah raja dan para kapitan dan para malesi)
Louhata Amalatu berarti tempat berkumpul untuk musyawarah mufakat para raja dan kapitan serta malesi.

Selesai latu Abuasa memberi penjelasan mengenai arti nama negeri dari tempat mereka berkumpul untuk musyawarah, maka para kapitano serentak mengangkat suara “Elooooo….oooo eta mono nia upu latu warua…aaa… iya,kami atau kita setuju dengan nama negeri tersebut”
Para kapitan dan malesi sepakat dengan nama yang disampaikan oleh Upu Latu Abuasa, maka dengan resmi negeri itu diberi nama Louhata Amalatu dan dipimpin oleh Upulatu Lohilomanuputi.
Maka mulailah para datuk2 tsb mengatur dan membangun negeri Laohata Amalatu (sekarang Siri Sori Islam).

SUSUNAN RAJA-RAJA

Sebelum pemberian nama negeri dan masyarakat masih mendiami gunung-gunung maka gunung elhau adalah pusat pemerintahan dan latu yang mengendalikan negeri adalah silaloi sampai dengan pemberian nama negeri louhata Amalatu adalah raja:
1.Raja Masapait/Aliwanta
2.Masapait
3.Patididi
4.Al-Bimapara saimima(mungkin yang dimaksud Lipamara)
5.Masibukakang patti,akibat perselisihan antara Masibukakang dengan sesbakar patti(adiknya) yang telah memeluk agama nasrani maka belanda membagi negeri Louhata Amalatu menjadi dua bagian:
a.Negeri Louhata Amalatu dengan raja Masibukakang patty
b. Sidi Sodi Sarane dengan rajanya sesbakar patti (frans bakar kesauli)
6.Sabtu Patty
7.Adam Patty, negeri Louhata Amalatu berubah namanya menjadi negeri Siri Sori Islam, marga bapak raja patty menjadi Pattisahusiwa
8.Usman Pattisahusiwa Ragen
9.Abdul masjid (1) Pattisahusiwa, selama pemerintahannya terjadi perselisihan antara raja dengan saudaranya bernama Robo patty, maka Abdul Majid Pattisahusiwa 1 turun dari jabatannya dan diganti oleh Robo Patty dengan gelar Patty Khamarobo.
10.Patty Khamarobo, nasibnya sama dengan raja sebelumnya (Abdulmasjid 1), dia berselisih paham dengan saudaranya She’ri patty dan akhirnya Raja Robo pun turun dari jabatannya.
11.She’ri patty Raja di negeri SSI dan SSI saat itu berubah namanya menjadi negeri Louhata Amalatu, beliau diasingkan ke Pulau Banda karena menentang pemerintahan Belanda. Maka Raja she’ri bertemu dengan Sukarno, Moh. Hatta, dan Sutan Shahrir untuk merumuskan kemerdekaan Negara Republik Indonesia.
12. Abdul Aziz Pattisahusiwa, negeri Louhata Amalatu kembali berubah nama menjadi Siri Sori Islam
13. Moh. Saleh Pattisahusiwa
14. H. Mohammad (Bostir) Pattisahusiwa
15.H Abdul Karim Imron Pattisahusiwa, negeri Siri Sori Islam menjadi Desa Siri Sori Islam
16. Abdul Madjid 2 Pattisahusiwa
17. Jhoni Karim Pattisahusiwa
oleh: Upang Pattisahusiwa



Laha adalah sebuah negeri yang terletak di pulau Ambon, tepatnya terletak di ujung teluk pulau Ambon yang dibatasi oleh tanjung Alang dan tanjung Nusaniwe. Negeri Laha pada mulanya bernama Toisapua Sopaini yang kemudian berganti menjadi Toisapua Sopaini Yamano Nusa Laha, bermarkas di atas puncak gunung Sakula yaitu Negeri Tua, dimana para Kapitan dan Tua-tua adat negeri ini bermukim yang ditandai dengan sebuah batu prasasti yang sakral “HATU MA’ATUNU KAMAR KULA UTE SAMPIRANG “, yaitu batu prasasti dimana mereka berkumpul untuk bermusyawarah dalam segala hal yang berkaitan dengan Negeri mereka.Cakalele adat hu’ur nitu sakula mengawal Raja tuan tanah adat beserta Kapitan-kapitan dan tua-tua adat dari soa Hehuat turun dari negeri Tua berbondong-bondong menuju pantai dan mulai bermukim di sana. Negeri Laha terbentuk pada tahun 1314 dengan luas wilayah kurang lebih 500 Ha dengan batas-batas sebagai berikut :

Sebelah Utara dengan : Negeri Seith Kecamatan Leihitu
Sebelah selatan dengan : Teluk Ambon
Sebelah Timur dengan : Teluk Ambon
Sebelah Barat dengan : Negeri Hatu Kecamatan Leihitu

Negeri Laha pada awalnya dihuni oleh 5 (Lima) Soa/Marga asli yang terdiri dari :

1. Soa Hehuat (Tuan tanah / Kepala Adat )
2. Soa Laturua ( Tabib/Tukang pengobatan)
3. Soa Mewar I (Raja)
4. Soa Mewal (Tukang)
5. Soa Mewar 2 (Penghulu/Imam)

Keberadaan dan kondisi penduduk setempat masihlah primitif yang berfahamkan animisme, hingga muncullah seorang penyiar agama islam di Maluku, Sultan Chairun Djamil yang berasal dari Ternate untuk membebaskan mereka dari keterbelakangan, mencoba memadukan budaya islam dengan adat istiadat setempat. Bersama khaddamnya (pembantu) kemudian berlabuhlah perahu mereka yang disebut dengan Sope-Sope di tepi pantai negeri Toisapu Sopaini ini, letak negeri ini sangatlah strategis di mata Sultan Khairun Jamil, hingga ia melontarkan ucapan: “Taha-taha Belo Joua Laha suange”, yang artinya; Tanamlah tokang (gala), di sini pelabuhan yang bagus. Dari sinilah nama Negeri ini berasal dan sejak itu pun berubah menjadi LAHA yang berarti BAGUS, yang kemudian oleh pemerintah Hindia Belanda mengadakan pendataan ulang terhadap Dati-dati yang ada di pulau Ambon pada tahun 1814 M (Berdasarkan Register Dati Negeri Laha).  Dengan kedatangan Sultan Khairun Jamil, telah membahawa banyak perubahan di Negeri ini terutama adat istiadat yang banyak berbau dengan islam dan bahasa Tanah pun mulai bercampur dengan sedikit bahasa Ternate.

Kehidupan masyarakat mengalami perubahan, dimana mulai berpikir untuk berusaha dan maju, sebagai nelayan yang mahir membuat perahu dan menangkap ikan juga cara pemasarannya melalui barter dengan negeri lain, dan sebahagian penduduknya masih bercocok tanam, hingga negeri ini menjadi ramai dan tempat berkumpul sebagaian penduduk dari negeri lain. Beliau juga telah menaruh batu pertama sebuah mesjid di Laha dengan ukuran kubah 4x4m dan mesjid tersebut dinamakan Mesjid Jame’ Sultan Chairun Djamil sebagai penghormatan dan untuk mengenang jasa-jasanya, hingga kini mesjid itu telah mengalami 3 (tiga) kali pemugaran. Pada zaman Belanda, ukuran mesjid ini diperbesar luasnya menjadi 8×8 m2. Pada saat masuknya Jepang, bangunan mesjid ini hancur berantakan, dan setelah Jepang meninggalkan Indonesia, kembali bangunan mesjid ini dipugar dan diperbesar menjadi 12×12 m2. Konon kabarnya kuburan Sultan Khairun Djamil berada di antara Ternate dan Tidore, padahal sebenarnya adalah keburan beliau berada di belakang mesjid Laha yang dikenal dengan keramat.

Negeri ini adalah negeri yang sangat berpegang pada adat leleuhur mereka, mempunyai bahasa tersendiri dan terdiri dari beberapa soa serta tanah Ulayat Negeri Laha. Telah mengalami perubahan dari nama negeri Laha menjadi desa Laha dan kini kembali menjadi negeri Laha. Luas wilayahnya pun telah berkurang setelah pemekaran kotamadya Ambon, dimana desa Tawiri yang dulunya merupakan salah satu dusun dari Negeri Laha kini telah menjadi desa yang otonom. Oleh: Toisapu


KALWEDO! MINONG SOPI

Antara Semantik Bahasa dan Simbol Budaya Masyarakat Maluku Barat Daya
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella



Memuat analisis Prof. Watloly perihal ungkapan ‘kalwedo’ sebagai sebuah simbol budaya masyarakat Maluku Barat Daya. Watloly tiba pada sebuah kesimpulan bahwa perlu pemahaman sejarah (heurestik) terhadap ungkapan kalwedo itu. Itu disebabkan karena jejak kebahasaan dari kata itu sendiri sudah hampir sulit dideteksi mengingat belum banyak pakar yang menyusun sejarah kebahasaan kelompok sub-etnik di Maluku, sampai pada sistem gramatikal dan vonemiknya. Beberapa usaha yang ditempuh belakangan ini oleh mereka yang menekuni ilmu kebahasaan mungkin juga kehilangan sistem aksara atau alphabetik asli, sebab pola transliterasi dilakukan mengikuti alphabet Arab dan penulisannya disusun mengikuti struktur bunyi dalam bahasa melayu (melayu Ambon).
Beberapa diskusi di group ‘Journal Babar’ (jB – mengikuti gaya pengetikan Pdt. Ampy Beresaby dalam facebook) tentang sopi, dan analisis Prof. Watloly itu menjadi kerangka empiris dari refleksi ini. Tentu harus saya akui, saya terbatas untuk mendalami struktur emic dari konteks dan psikologi budaya orang Maluku Barat Daya sebab saya ke Kisar hanya 1 hari dan bukan untuk tujuan meneliti konsepsi ini, melainkan menjalankan tugas gereja (Sosialisasi Penyusunan Rencana Strategi Jemaat GPM). Saya bukan orang MBD, dan tidak bisa berbahasa salah satu sub-rumpun bahasa di sana (kecuali mama saya yang paham dan mampu berbahasa Kisar). Saya pun tidak seperti teman-teman Pendeta GPM yang bertugas di salah satu jemaat di MBD. Karena itu refleksi ini berangkat dari ‘kemiskinan’ secara intelektual tentang konteks masyarakat di MBD sebagai pemangku budaya.

Saya memiliki secuil pengalaman empiris terkait dengan pokok tulisan ini. Pengalaman itu terjadi pada 20 November 2011, waktu kami disambut oleh jemaat GPM Marbali, Klasis Kepulauan Aru, untuk kegiatan Musyawarah Pimpinan Paripurna (MPP) ke-25 Angkatan Muda GPM (AMGPM) di sana. Kebetulan jemaat Marbali berasal dari Tepa, sehingga kami disuguhi minuman sopi dan pengalungan kain tenun sebagai bagian dari rangkaian penyambutan secara adat. Waktu itu saya bingung antara menyebut ‘kidabela’ atau ‘kalwedo’ sehingga saya hanya mengangkat sloki sopi itu dan meminumnya sekaligus. Saya senang sebab orang-orang Tepa yang ada dalam arakan penyambutan itu langsung bertepuk tangan. Apakah mereka menerima saya ke dalam sistem hidup budayanya atau merasa saya menghormati praktek adatisnya? Saya kira keduanya. Namun itu sama sekali tidak berarti bahwa refleksi ini sudah secara gamblang mengangkat aspek terdalam (emic) dari konteks budaya masyarakat MBD.

Mungkin ada satu lagi kepentingan subyektif mengapa saya berusaha membuat tulisan ini. Sopi sebagai komoditi lokal menimbulkan kontroversi yang luar biasa dalam regulasi di daerah dan juga masalah dalam hidup masyarakat termasuk kelompok umat beragama. Penggunaan sopi secara berlebihan merupakan salah satu problem pokok pelayanan jemaat-jemaat GPM tetapi juga masyarakat adat di Maluku karena ekses darinya adalah kemabukan dan memancing timbulnya berbagai tindakan kekerasan dan kriminalitas. Gereja pun kehabisa cara untuk menanganinya. Selain kepolisian, ada beberapa pendeta yang radikal memusnahkan minuman tradisional ini di pelabuhan-pelabuhan di Kota Ambon. DPRD Kota dan Kabupaten pun demikian. Berkali-kali melakukan studi banding ke sana ke mari, tetapi alhasil tidak ada Peraturan Daerah yang mengatur mengenai produk lokal ini. Padahal di MBD, dan banyak tempat lainnya, produk ini menjadi sumber daya ekonomi (bahkan satu-satunya) yang mampu menghidupi keluarga.

Ada pomeo: dari sopi lahir Jenderal, dari sopi lahir Guru, Dosen dan dari sopi lahir pula Pendeta. Maksudnya uang hasil menjual sopi menjadi sumber dana untuk membiayai studi anak-anak. Pomeo lain: 1 sloki angka suara, 2 sloki angka sudara, 3 sloki tangang bicara, 4 sloki mandi darah, 5 sloki keluarga sengasara, 6 sloki nyawa melayang, 7 sloki masuk neraka.

BAHASA DAN SEMANTIK KEBUDAYAAN
Sebelum saya lebih jauh melakukan refleksi ini, saya merasa perlu memaparkan sedikit tentang bahasa sebagai sistem semantik dalam kebudayaan masyarakat. Dalam penelitian etnografi, bahasa memainkan peran pokok sebab bahasa mengantar kita pada dua tugas penting dari penelitian etnografi yakni penemuan (discovery) dan deskripsi (description). James Spradley (1997:23-29) menjelaskan bahwa dengan memahami dan mampu membahasa seperti masyarakat setempat kita merasa ‘berada di dalam rumah’ (at home), sebaliknya jika tidak sama saja dengan homeless – pengungsi budaya/pengelana. Saya yakin saya hanyalah pengelana budaya dalam kasus tulisan ini. Sebab jika pun saya mampu membahasa, bukan berarti saya berkemampuan berbahasa seperti orang setempat (bisa berbahasa Tepa, Kisar, dll) melainkan saya mungkin hanya mampu menirukan dialeg orang setempat.

Itulah sebabnya bisa saja refleksi ini baru tiba pada apa yang disebut Richard Palmer (2003:17-23) dengan ‘to express’ (mengungkapkan), karena saya dapat saja bertumpu pada ‘perkataan’ atau juga ‘gaya’ –dan belum menelisik lebih jauh untuk ‘to explain’ (menjelaskan sesuatu) sehingga maknanya tidak menjadi makna primordial melainkan dapat menembusi horizon makna yang lebih luas.

Dari pendapat itu maka kita dapat memahami istilah atau slogan tertentu yang digunakan oleh suatu komunitas merupakan bagian dari sistem bahasanya secara utuh. Istilah dan slogan tidak bisa dimengerti lepas dari genealogi dan anatomi bahasa setempat. Pada istilah dan slogan terkandung ‘perkataan’ dan ‘gaya’ –atau ucapan dan tindakan. Dan semuanya itu adalah teks yang berfungsi sebagai designatum atau cara yang menerangkan tanda. Dengan memahaminya sebagai designatum/designata kita dituntut untuk memahami hubungan antara cara pengucapan dan pengungkapannya (gaya) [–baca. Joseph H. Greenberg, dalam Hymes, 1964:27].

Saya menggunakan pendekatan itu untuk mengurai ‘sopi’ dan ‘kalwedo’ sebagai istilah dan juga slogan, atau simbol dan penggunaan simbol. Dalam cakupan itu saya mesti mengakui bahwa ‘kemiskinan intelektual’ dalam refleksi ini memberi tantangan tersendiri.

KALWEDO, SLOGAN DAMAI, ANTI KEKERASAN

Saya meminjam beberapa tukilan Prof. Watloly tentang istilah ini. Jejak kebahasaan masih sedikit sulit untuk menangkap akar kata dari istilah ‘Kalwedo’. Beberapa teman orang MBD yang saya tanyakan melalui sms (short message system/pesan singkat) cukup sulit menjelaskannya. Mungkin karena usia mereka muda dan sudah tidak bisa berbahasa Kisar dan Tepa, atau karena pembelajaran bahasa yang kurang sistematis, sebab kita cenderung mengajar anak menghafal istilah dan berbahasa. Kita tidak mengajarkan gramtikal secara memadai. Kesan ini dialami pula oleh beberapa orang dari luar suatu komunitas asli. Mereka cukup menghafal istilah-istilah yang kerap digunakan dalam komunikasi sehari-hari, atau juga istilah-istilah yang terkait dengan sumpah-sumpahan, maki-makian, dan sejenisnya. Tujuannya, kalau-kalau dimaki, bisa diketahui. Akibatnya bahasa asli (bahasa tanah/native language) menjadi semacam bahasa rahasia.

Prof. Watloly memparalelkan istilah ‘kalwedo’ dengan istilah ‘kalyel’ dalam bahasa Babar Timur yang berarti ‘tidak kuat’, dan ‘kale’ dalam bahasa Kisar/Meher, yang berarti ‘tidak ada’. Artinya mungkin saja akar kata ‘kal..’ dalam rumpun bahasa di MBD berarti ‘tidak, tiada, tanpa’.

Lebih lanjut Watloly, bagi saya, lebih condong menangkap gagasan filsafat Kalwedo itu dalam semacam desain moral dan etik masyarakat. Apa yang dilakukannya merupakan usaha menafsir istilah itu dalam ranah sosio-kultural dan sosio-etik masyarakat.Ia merunut bahwa secara semantik istilah ‘kalwedo’ itu menegaskan lima hal, yakni:
Pertama, bumi yang berhati kalwedo, yaitu bumi yang berhati mulia, hati yang penuh kedamaian dan persaudaraan, hati yang jujur, iklas dan terbuka.
Kedua, bumi yang berjiwa kalwedo, yaitu bumi kelemahlembutan, jiwa penyayang, pengasih, penyabar dan jiwa melayani.

Ketiga, bumi yang berotak kalwedo, yaitu otak yang kritis, cerah ceria, berwawasan luas, cerdas, berhikmat dan penuh kearifan serta kebijaksanaan hidup (wisdom).
Keempat, bumi yang berwatak atau berkarakter kalwedo, yaitu watak atau karakter berakhlak luhur, setia, teguh dan kokoh dalam pendirian serta watak beriman.
Kelima, bumi yang berotot kalwedo yaitu otot yang ulet, tahan banting, pantang menyerah menghadapi alam kepulauan yang beriklim ganas dan lahan kering.

Saya kira tugas kita adalah terus mencari makna dasar dan dunia sosial (zits im leben) yang melahirkan istilah itu. Pertanyaannya ialah apakah istilah itu adalah sebuah slogan damai yang diambil tatkala leluhur-leluhur kita di masa lampau berperang (adu ketangkasan dan ilmu) dan tidak ada yang kalah maka mereka bersepakat berdamai dalam arti menghentikan perang, dan kalwedo merupakan slogannya? Apakah istilah kalwedo itu merupakan slogan pada saat dua orang bersaudara berjumpa satu sama lain dan menyampaikan salam, sebagai tanda persaudaraan?

Beberapa teman yang saya tanyakan menulis dalam sms-nya bahwa: ‘kalwedo itu sama saja dengan Shalom, jadi setiap kali katong bakudapa, katong menyebut kalwedo sebagai salam’. Sms yang lain menjelaskan bagini: ‘itu istilah yang artinya damai’.
Jika kedua sms itu dikaitkan dengan penjelasan Watloly dari perbandingan dengan kata ‘kale’ dan ‘kalyel’, maka mungkin kita bisa memastikan bahwa ‘kalwedo’ merupakan slogan yang digunakan sebagai tanda mengakhiri pertengkaran, perselisihan pendapat, perselisihan sikap, pertikaian antar saudara atau antar-negeri. Karena itu ‘kalwedo’ dapat diikuti dengan semacam sumpah dan janji untuk tidak bertikai, berselisih atau bermusuhan.

Dengan demikian, dapat saja kita artikan ‘kalwedo’ yakni ‘situasi tanpa atau tidak ada lagi kekerasan, tidak ada lagi konflik dan peperangan, tidak ada lagi perselisihan pendapat dan sikap. Kalwedo menjadi slogan di mana suatu tatanan baru telah didirikan yakni tatanan damai, harmoni, kekompakkan, kerjasama, kesetaraan dan kesamaderajatan.

Pertanyaan berikut, mengapa setiap menyebut ‘kalwedo’ ditandai dengan meminum sopi satu sloki? Artinya kalwedo jelas bukanlah sekedar istilah melainkan slogan. Jadi bukan sebatas perkataan melainkan gaya. Semantik kalwedo adalah dialektika antara perkataan dan gaya; dialektika konsep dan praksis; moral dan etika praksis, iman dan perbuatan.

SOPI, ANGKA SUARA, SUARA YANG BESAR
Dalam jB, Pdt. Ampy Beresaby menerangkan bahwa dalam bahasa tua di MBD, istilah sopi adalah LIRMARNA; yang terdiri dari dua kata yakni ‘Lir’ yang bararti ‘suara’, dan ‘Marna’ yang artinya ‘besar/mulia’. Jadi ‘lirmarna’ atau sopi berarti ‘SUARA YANG BESAR, SUARA YANG MULIA’.

Dalam kaitan ini sopi tidak boleh dipahami lepas dari pengungkapan slogan kalwedo tadi. Kita dibantu dengan melihat pada praktek ritus dalam komunitas MBD, di mana sebelum meminum sopi, seseorang mesti mengangkat sloki sambil berseru: ‘kalwedo’.
Dalam prakteknya, cara itu digunakan pula dalam memulai sebuah musyawarah keluarga atau musyawarah adat. Banyak orang berkata pula bahwa, jika terjadi sebuah perselisihan pendapat dalam musyawarah itu, langsung diedarkan sopi kepada semua peserta musyawarah dan setelah itu, perselisihan pendapat itu dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Atau dalam praktek lain, ketika satu keputusan adat hendak ditetapkan dan agar semua orang yang ada di situ tidak melanggar keputusan itu, dibagikan pula sopi, dan sebelum meminum masing-masing berseru: ‘kalwedo’.

Itulah sebabnya saya yakni, slogan ‘kalwedo’ berarti ‘tidak ada lagi kekerasan, tidak ada lagi konflik dan peperangan, tidak ada lagi perselisihan pendapat dan sikap’. Sopi menjadi material atau simbol budaya yang menyatu dengan penggunaan slogan kalwedo. Slogan itu menjadi tanda dan sopi merupakan designatum dari tanda itu. Sebab itu jika sopi dipahami dalam istilah ‘lirmarna’, maka penggunaan sopi di sini terjadi secara proporsional dan untuk tujuan yang baik, yakni menyelesaikan masalah dan membangun harmoni baru. Sopi menjadi designatum dari suatu situasi yang tertib dan bukan instabilitas dan disorder.

Malah menurut istilah ‘lirmarna’ dapat ditegaskan bahwa keputusan yang diambil adalah keputusan yang benar, sesuai dengan rasa keadilan dan bertumpu pada semangat persaudaraan, kesetaraan (equality) dan untuk keseimbangan hidup atau relasi (equalibrium). Di sisi lain, ‘lirmarna’ yang berarti ‘Suara Yang Besar’ atau ‘Suara Yang Mulia’ dapat juga bermakna religius. Maksudnya, pengambil keputusan memiliki kharisma yang kuat dan dia menjadi figur yang menentukan dan dapat mengeratkan relasi antar-masyarakat. Peran figur atau tokoh menjadi penting dalam semantik ‘lirmarna’ ini. Apakah kita pun dapat mendefenisikan bahwa ‘Suara Yang Besar’ atau ‘Suara Yang Mulia’ itu berarti pula suara dari Tuhan atau ‘kabar baik’?

Saya mungkin lebih condong memahami ‘lirmarna’ dalam arti ‘kabar baik’ – sebab apa yang mau ditunjukkan dari tradisi : ‘kalwedo’ sambil mengangkat dan meminum sopi adalah perkataan baru sebagai keputusan atas suatu hal. Arti ‘kabar baik’ itu yang membuat slogan ‘kalwedo’ dengan cara mengangkat dan meminum sopi tidak lagi bermakna primordial melainkan membentuk suatu makna universal yang memberi pesan kemanusiaan yang universal pula.

Ada tatanan baru yang hendak dibangun dari keputusan atau perkataan itu, yakni harmoni dan ketertiban sosial, tanpa kekerasan, tanpa perselisihan dan pertengkaran, tanpa pertikaian dan tanpa cemburu, dendam, iri hati, dengki, tetapi juga tidak ‘harap gampang’ melainkan dapat bekerja bersama-sama. Sebab tradisi ini pun ada dalam pranata persaudaraan yang lain dalam praktek budaya orang MBD seperti kebiasaan menanggung suatu acara pernikahan anggota keluarga.

KALWEDO, MINONG SOPI DAN KRITIK SOSIAL
Telusuran makna ini menghadapkan kita pada sebuah tanggungjawab budaya untuk meluruskan suatu perilaku yang menyimpang dari makna dasar tindakan kebudayaan masyarakat.

Leluhur mendasarkan suatu praktek budaya yang bernilai luhur. Kemampuan mereka menghentikan konflik, pertikaian dan perselisihan menjadi bukti betapa kearifan atau hikmat lokal mereka jauh lebih tinggi dari hikmat masyarakat dewasa ini.
Pemanfaatan sopi [lirmarna] sebagai designatum untuk menegaskan suatu keputusan adat memperlihatkan bahwa sopi menjadi minuman sakral yang tidak digunakan untuk kepentingan sekular di luar forum atau lembaga adatis. Itulah sebabnya mengapa di banyak negeri, sopi menjadi bagian dari harta kawin yang ditentukan secara adat.
Penyalahgunaan atau konsumsi sopi yang berlebihan dan eksesif merupakan bukti pergeseran tertib sosial yang ditentukan sejak zaman leluhur, dan bukti terjadinya disfungsi sosial yang cukup kronis. Hal ini menandakan hikmat sosial masyarakat di ambang krisis sehingga norma-norma etik pun turut ditunggangbalikkan, terjun bebas ke degradasi moral. Apalagi ketika sebagian kalangan menjadikan penyalahgunaan konsumsi sopi sebagai picu berkonflik.

Kalwedo, sambil mengangkat dan meminum sopi membangun matra asli yakni damai dan nir-kekerasan. Ketika forma asli ini tergeser, sesungguhnya kita sedang jatuh ke dalam lembah hitam peradaban barbaris. Pertanyaannya mengapa forma asli itu mengalami pergeseran yang besar seperti itu? Saya kira jawabannya bukan sekedar pada kurangnya pewarisan nilai, melainkan paham-paham sekuler dalam budaya telah menggempur basis budaya lokal. Ada penetrasi yang cukup kuat ke dalam kebudayaan kita, sehingga nilai-nilai komunalitas mengalami pergeseran. Kemampuan menyelesaikan masalah pun semakin melemah oleh karena egosentrisme kebudayaan. Persaingan sosial (social competition) tidak dikelola secara arif melainkan dijadikan sebagai alasan perbedaan sosial (diferensiasi). Dalam banyak perselisihan orang tidak berusaha mencari konsensus dengan menjaga keseimbangan (ekualibrium).

Renungan sosial-budaya kita akan tiba pada point bahwa hal-hal itu terjadi sebab kekuatan-kekuatan adatis kita menjadi lemah, sebagai contoh fungsi Raja telah hilang, dan kharisma adat para tokoh dalam masyarakat pun mulai memudar. Orang Maluku mulai meninggalkan keunikan budayanya sendiri atau malah menganggap keunikan itu sebagai udik/kampungan dan ketinggalan zaman. Ada semacam rasa malu (ashamed) untuk memakai identitas dan tanda lokal. Hal ini kami temui pula pada sekelompok orang muda di beberapa negeri yang sudah tidak fasih lagi membahasa tanah. Malah mereka menganggap bahasa tanah itu sebagai warisan tua yang ketinggalan zaman, tidak up to date. Pada saat itulah kita kehilangan jejak ke forma asli yang mengandung nilai sakral dari budaya kita sendiri.

Kalwedo, sambil mengangkat dan meminum sopi atau lirmarna, menjadi point kritik bahwa kata-kata yang keluar dari mulut seseorang haruslah kata-kata berhikmat (Kata-kata Yang Baik atau Yang Mulia). Kontrol kesadaran merupakan aspek penting dari tindakan budaya ini. Konsumsi lirmarna yang berlebihan justru membuat kata-kata yang keluar berada di luar kendali kesadaran pula. Orang mabuk merupakan contoh konkrit lirmarna tidak lagi membentuk lapis kesadaran utama dan kesadaran sejarah mereka atau masyarakat.

Level kesadaran sejarah ini yang perlu dibentuk agar tidak ada lagi penyelewengan tafsir dan tindakan terhadap forma asli kebudayaan ini.
Demikian dulu refleksi ini, sambil terus berusaha mendalami struktur budaya masyarakat MBD.
Kalwedo!

Kerajaan NUNUSAKU, Kerajaan SAHULAU dan Kerajaan SIR (terakhir)


  1. Kerajaan NUNUSAKU (pertama)
  2. Kerajaan SAHULAU
  3. Kerajaan SIR = yang dirahasiakan (terakhir)

Kerajaan NUNUSAKU berdiri setelah banjir bah dasyat menghatam bumi. Sewaktu air bah perlahan-lahan mulai surut pertama-tama yang terlihat seperti gundukan tanah di tengah-tengah samudra gundukan tanah itu seperti membentuk  “NUN SUKUN” (NUN = huruf ke 25 dalam alphabet arab). Ternyata gundukan tanah itu adalah puncak dari sebuah gunung. Mereka pun singgah dipuncak gunung itu dan ketika air benar-benar surut yang masih kokoh berdiri adalah pohon beringin bercabang dua.

Mereka pun mendirikan sebuah pemerintahaan ADAT BERSENDIKAN AGAMA. AGAMA BERSENDIKAN FIRMAN-FIRMAN ALLAH SWT. Dari kejadian yang di alami maka kerajaan itu diberi nama NUNUSAKU. Karena mereka orang pertama yang sampai atau menginjakan kaki di situ maka dengan sendirinya mereka disebut ALIF’URU (ALIF=huruf pertama dalam alphabet arab, URU=atas/diatas/kepala). Pemerintahaan pertama dengan UPU LATU yang pertama masih bersifat bersifat kepemimpinan tunggal.Setelah UPU LATUyang pertama wafat maka estafet kepemimpinan NUNUSAKU dilanjutkan oleh anaknya yang sulung. Dengan gelarUPU LATU MENA. Dari  UPU LATU MENA inilah mulai dibangun sistem pemerintahan LATUyang dibantu oleh PATTI. Jabatan PATTI ini pun di jabat oleh adik-adik UPU LATU MENA itu sendiri, Dengan SANIRI sebagai lembaga legislatif. Maka awal perjalanan inilah di bumi NUNUSAKU, LATU memperanakanLATUPATTI memperanakan PATTIKAPITAN memperanakan KAPITAN dan seterusnya.

Masa pemerintahaanNUNUSAKU sangat lama dan masa kejayaan NUNUSAKU pun cukup lama dan luas. Samapai pada UPU LATU turunan ke beberapa puluh setelah UPU LATU yang pertama maka beiau UPU LATU mengumpulkan seluruh perangkat pemerintahaan tentang pembentukan kerajaan baru yang akan dipimpin oleh Putera Sulungnya yang mana Putera Sulungnya juga sebagai Putera Mahkota. Maka Putera Mahkota dibantu oleh tua-tua adat pergi mencari tempat yang dianggap pas untuk dijadikan pusat pemerintahan yqng baru. Setelah lama berputar-putar dari satu pulau ke pulau lain (masih dalam Maluku) maka meraka pun bersepakat pusat pemerintahaan yang baru masih berpusat diNUSA INA. Maka putera Mahkota pun mendirikan kerajaan yang baru dengan nama kerajaan SAHULAU.SAHU=melangkah datang, setelah lama berputar-putar dari satu pulau kepulau yang lain. LAU=jauh dari jauh mereka melihat tempat strategis tersebut. Jadi yang memimpin Kerajaan SAHULAU masih keturunan langsung dari kerajaanNUNUSAKU.

LATU pertama yang memimpin kerajaan SAHULAU adalah UPU LATU Luas kekuasaan Kerajaan SAHULAU sama dengan luas kerajaan NUNUSAKU. Kerajaan NUNUSAKU tidak runtuh masih tetap dipimpin oleh seorang LATU dengan dibantu PATTI, singkatnya seluruh perangkat pemerintahannya masih tetap berlanjut hanya saja kekuasaan pemerintaan berpindah ke SAHULAU. Pemegang jabatan PATTI di kerajaanSAHULAU adalah keturunan PATTI dari kerajaan NUNUSAKU begitu seterusnya. Pada pemerintahaan kerajaanSAHULAU inilah lahir ide-ide brilian seperti masalah rentang kendali maka dibentuklah kerajaan-kerajaan kecil (provinsi dan kabupaten) yang mana dipimpin juga oleh seorang LATU. Masa kejayaan kerajaan SAHULAU berada pada masa pemerintahaan INA LATU KABASARAN, seorang wanita yang cantik dan berwibawa. Gelar kabasaran ini adalah ucapan orang-orang melayu pada waktu itu. Karena kekuasaan kerajaan SAHULAU sampai ke tanah melayu.

Dari satu buku yang pernah penulis baca (lupa judulnya) yaitu ketika kerajaan SAHULAU melakukan perjanjian kerjasama dengan pemerintah Jerman pada tahun (penulis jg lupa) INA LATU KABASARAN di damping oleh KAPITAN SOLEMATA dari KERAJAAN NUNUSAKU ini menandakan kerajaan NUNUSAKU masih ada dan tidak pernah runtuh. Dan diakhir masa pemerintahan INA LATU KABASARAN inilah maka atas perintah UPU LATU dari kerajaan NUNUSAKU untuk melakukan pencarian tempat yang baru untuk dijadikan pusat kerajaan SIR (terahir). Tempat atau ibu kota kerajaan SIR (terakhir) harus mempunyai tanda-tanda yang sama seperti pusat kerajaan NUNUSAKU (pertama) yaitu adanya tiga batang air seperti TALAETY danSAPALEWA di NUNUSAKU. Putera mahkota dari kerajaan NUNUSAKU yang memimpin rombongan ke tanah/daerah yang sudah dijanjikan tepatnya di NUSA ‘URU. Kali ini pusat pemerintahaannya berada di luar NUSA INA.

Setelah mereka sampai di tempat yang dituju yaitu NUSA ‘URU, NUSA=pulau/benua ‘URU=kepala/atas  maka putera mahkota dari kerajaan NUNUSAKU mendirikan kerajaan SIR (terakhir) dan beliau juga sebagai pemimpin kerajaan terakhir dengan gelar UPU LATU atau juga dikenal dengan gelar UPU NUSA URU dan lagi-lagi kerajaan NUNUSAKU dan kerajaan SAHULAU masih tetap ada Cuma pusat kegiatan pemerintahaan berpindah ke kerajaan SIR (terakhir). Pada pemerintahaan kerajaan SIR inilah pemerintahaan modern pertama kali dibuat yaitu : UPU LATU dibantu oleh empat ELLA dan empat PATTI dan SANIRI masih menjadi LEGISLATIF bagian dari pemerintaan. Kalau di kerajaan pertama dan kedua belum ada jabatan ELLA tapi di kerajaan terakhir ELLA sudah ada. Dan pada pemerintahaan pertama kerajaan SIR ini dibentuklah beberapa kerajaan kecil (provinsi) diantaranya : PEMERINTAHAAN NUSA ARU (pemerintahaan nusa hitu), PEMERINTAHAAN NUSA AY (pemerintahaan nusa nive), PEMERINTAHAN ALAKA (pemerintahan nusa hatuhaha) dan beberapa lainnya. Luas kerajaanNUNUSAKU sama dengan luas kerajaan SAHULAU dan begitupun kerajaan SIR (terakhir) luas kekuasaan sama seperti NUNUSAKU dan SAHULAU.

Maluku dibawah pemerintahaan kerajaan SIR (terakhir) sangat singkat hanya dua UPU LATU saja yang sempat memimpin kerajaan SIR (terakhir) karena penjajah sudah menginjakan kaki di bumiNUNUSAKU ini.
Tapi seperti kata orang tua-tua “DARI ADA MENJADI TIADA DAN KEMBALI MENJADI ADA”. Maka penulis berkeyakinan suatu saat kerajaan SIR (terakhir) di bumi NUNUSAKU ini akan kembali memimpin seperti dulu. Tiga batang air TALAETY dan SAPALEWA dari satu sumber mata air begitupun tiga kerajaan besar NUNUSAKU,SAHULAU dan SIR (terakhir) dengan para UPU LATU dan UPU PATTI nya berasal dari satu keturunan.

http://pulawan.wordpress.com
Sejarah Orang Maluku di Belanda 

KNIL Ambon
Pada 1951, sekitar 12.500 Maluku diangkut dari Jawa ke Belanda. Mereka sebagian besar prajurit yang telah bertugas di tentara kolonial Belanda (KNIL), dan anggota keluarganya. Setelah penyerahan kedaulatan dan pembubaran KNIL, pihak Indonesia, Belanda dan tentara Maluku tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai demobilisasi mereka. Akhirnya, diputuskan untuk memindahkan tentara Maluku sementara ke Belanda. Ternyata bagi sebagain mereka sangat tidak mungkin untuk kembali ke Indonesia.
Maluku terkenal dengan kakayaan rempah-rempahnya dan menjadi produk ekspor maluku selama berabad-abad, namunSetelah harga rempah-rempah anjlok (di akhir abad kesembilanbelas), tenaga kerja manusia menjadi produk ekspor utama. Terutama melibatkan komunitas kristen. Orang Ambon, atau Maluku yg akan disebut kemudian, dipekerjakan di seluruh Hindia-Belanda sebagai pegawai negeri, guru, asisten pendeta atau prajurit tentara Hindia Belanda (KNIL). Maluku dalam KNIL memegang posisi istimewa untuk waktu yang lama. Mereka berjuang bersama Belanda melawan Jepang selama Perang Dunia II. selama perang mempertahankan kemerdekaan banyak orang maluku yg bergabung dengan KNIL.
Setelah penyerahan kedaulatan, KNIL dibubarkan. Para prajurit Maluku ditawari pilihan antara pemindahan tempat atau bergabung dengan tentara Indonesia yang baru. Beberapa memilih pilihan yang terakhir, sementara yang lain menolak untuk membuat pilihan. sekitar 12.500 orang Maluku tiba di Belanda pada tahun 1951. Kedatangan mereka adalah solusi sementara untuk masalah-masalah politik di Indonesia yang berkembang setelah penyerahan kedaulatan dan pembubaran tentara kolonial Belanda (KNIL).
karena diperkirakan hanya sementara, orang2 Maluku diberi tempat tinggal di kamp-kamp terpencil. Namun ternyata, pengembalian ke Indonesia terbukti tidak mungkin. Dari tahun 1956 dan seterusnya, Belanda membuat kebijakan yang ditujukan untuk pengintegrasian komunitas maluku: Aturan swadaya/The self-support rule diperkenalkan dan kawasan baru dibangun untuk komunitas Maluku.
KNIL Ambon di Belanda
Tahun 1960-an dan 1970-an merupakan masa-masa radikal. Kasus pembajakan yang terjadi menyebabkan banyak ketegangan antara komunitas masyarakat Maluku dan Belanda. Pada 1980-an, fokus bergeser terhadap isu-isu sosial seperti pekerjaan, kesejahteraan dan pendidikan.
Selama beberapa dekade terakhir, semakin banyak Maluku sudah mulai mengunjungi daerah asalnya Maluku. Ini telah memberikan dorongan baru bagi pengalaman tradisi Maluku di Belanda, khususnya di kalangan pemuda generasi ketiga dan keempat.
Setelah beberapa tahun, pemerintah memutuskan bahwa Maluku harus sekarang dapat mendukung dirinya secara finansial. Pada saat itu, banyak dari mereka yang sudah bekerja, kebanyakan di pabrik-pabrik. Aturan swadaya didirikan pada tahun 1956. Aturan tersebut menyatakan bahwa orang harus mampu menghidupi diri sendiri. Hanya jika ini tidak berhasil, pemerintah akan memberikan dukungan.
De Kemp
Salah satu simbol dari aturan swadaya adalah dapur individu yang mengambil alih tempat dapur umum. Masyarakat Maluku meluncurkan protes keras terhadap aturan swadaya. Mereka menganggap pemerintah bertanggung jawab atas kehadiran mereka, dan dengan demikian juga untuk biaya yang dihasilkan.
Pada akhir 1950-an, pemerintah memutuskan bahwa masyarakat Maluku harus mengintegrasikan lebih penuh ke dalam masyarakat Belanda. opsi kembali ke Maluku tidak lagi diharapkan.
Bagian dari kebijakan baru ini memindahkan komunitas Maluku dari kamp ke bangsal baru. Integrasi Maluku adalah untuk mengambil tempat dalam kelompok. Bangsal dibangun di desa-desa dan kota, sehingga memungkinkan untuk kontak lebih lanjut antara Maluku dan Belanda. Appingedam Maluku adalah bangsal pertama yang selesai. Lebih dari enam puluh bangsal adalah untuk mengikuti tahun-tahun berikutnya. Menutup kamp-kamp memang tanpa masalah berarti, namun, dan mengambil waktu lebih lama daripada diperkirakan.
Protes Di Depan Kedutaan Indonesia
Pertempuran masih berlangsung di Maluku sampai dengan tahun 1960 oleh Republik Maluku Selatan (RMS), dipimpin oleh presidennya dr. Chr. R.S. Robbert Steven Soumokil, Esq. Dia ditangkap pada tahun 1963 oleh tentara Indonesia. Setelah eksekusi pada tahun 1966, J.A. Manusama B.Sc. mendirikan pemerintahan di pengasingan dan berhasil menggantikan Soumokil sebagai presiden.
Pelaksanaan eksekusi Robbert Steven Soumokil pada tahun 1966 menyebabkan tindakan kekerasan pertama oleh pemuda Maluku di Belanda, yang membakar kedutaan besar Indonesia di Den Haag. protes Lebih lanjut dalam pertempuran untuk kemerdekaan RMS (Republik Maluku Selatan) pun terjadi di tahun-tahun berikutnya.Paling dikenal adalah pendudukan kediaman duta besar Indonesia di Wassenaar pada tahun 1970, dan pembajakan kereta api di dekat Wijster pada tahun 1975 dan De Punt pada tahun 1977. Protes ini meninggalkan luka mendalam di Belanda dan masyarakat Maluku .

Protes di depan kedutaan Indonesia
Menurut pemerintah Belanda, protes kekerasan tahun 1970-an adalah sebuah ekspresi dari ketidakpuasan tentang rendahnya posisi dari komunitas Maluku di masyarakat Belanda. Dalam tahun-tahun berikutnya langkah-langkah diambil untuk mengatasi masalah-masalah sosial. Beberapa lembaga Maluku juga didirikan.Pada awal 1980, negosiasi dimulai antara pemerintah dan Badan Persatuan (BP), organisasi terbesar Maluku. Negosiasi ini akhirnya menyebabkan “Pernyataan Bersama” yang ditandatangani pada tahun 1986 oleh Perdana Menteri dan Pendeta Metiarij Lubbers, Ketua BP. Generasi pertama orang maliku diberi medali peringatan dan tunjangan tahunan. Pengangguran, penyalahgunaan narkoba dan masalah perumahan yang dibahas dan diatasi. Landasan dari Maluku Historical Museum juga dimungkinkan.
Karena banyak orang Maluku ‘tidak mempunyai negara’, mereka tidak dalam posisi untuk bepergian ke Maluku selama bertahun-tahun. Situasi ini mulai membaik pada tahun 1980: meningkatnya jumlah orang Maluku mulai mengunjungi Maluku, dan terutama desa-desa di mana mereka berasal. Di sana mereka menemui budaya Maluku yang telah melalui begitu banyak perubahan dalam lima puluh tahun terakhir. Ini merupakan suatu pengalaman tersendiri dalam tradisi Maluku di Belanda.
Hubungan antara Maluku di sana-sini tetap kuat. Berbagai proyek telah dimulai untuk membantu desa-desa setempat dengan membangun sekolah atau dengan membangun sarana air. Ketika perang saudara pecah di Maluku pada tahun 1999, inisiatif bantuan tak terhitung dimulai di Belanda.
amyaldo.blogdetik.com