Dr. Johannes Leimena

Dr. Johannes Leimena

Dr. Johannes Leimena lahir di Ambon, Maluku 6 Maret 1905 – meninggal di Jakarta, 29 Maret 1977 pada umur 72 tahun. Ia tokoh politik yang paling sering menjabat sebagai menteri kabinet Indonesia dan satu-satunya Menteri Indonesia yang menjabat sebagai Menteri selama 21 tahun berturut-turut.  lahir di Ambon, Maluku, 6 Maret 1905. Leimena merantau ke Batavia dimana ia meneruskan studinya di ELS (Europeesch Lagere School), namun hanya untuk beberapa bulan saja lalu pindah ke sekolah menengah Paul Krugerschool (kini PSKD Kwitang). Dari sini ia melanjutkan pendidikannya ke MULO Kristen, kemudian melanjutkan pendidikan kedokterannya STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen), Surabaya - cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Geneeskunde Hogeschool (GHS - Sekolah Tinggi Kedokteran) di Jakarta.


LEIMENA , MALUKU  dan PANCASILA

Leimena bersama kabinet pertama indonesia yakni perdana menteri, menteri sosial, menteri kemakmuran, menteri negara urusan peranakan, menteri keamanan rakyat dan dua staf ,pak Leimena duduk di tengah
Tulisan ini hendak membahas peran Sukarno dalam kelahiran Pancasila, serta posisi berbagai tokoh politik Maluku dan posisi kekristenan dalam sejarah bangsa ini.

Pada waktu sejarah negara ini beranjak lebih jauh, sebagai orang Maluku kita pernah memiliki pengalaman ketika pluralisme itu diuji dan digoyang tetapi kita berhasil mengatasi berbagai perbedaan tersebut untuk menemukan masa depan yang lebih baik.

Dalam konteks inilah kita pernah melihat bahwa Maluku memiliki posisi yang sangat penting di Indonesia dan hal itu tampak pada pandangan Sukarno terhadap para pemimpin dari Indonesia. Pada waktu Sukarno mengucapkan pidatonya di BPUPKI, kehadiran orang Maluku diwakili oleh beberapa tokoh khususnya Mr J Latuharhary yang kemudian menjadi gubernur Maluku yang pertama sesudah proklamasi 17 agustus 1945. Dalam buku karya Johannes de Fretes yang berjudul “Kebenaran Melebihi Persahabatan”, menjelaskan bahwa posisi Mr Latuharhary sejak awal mendukung pandangan kebangsaan Sukarno tentang Pancasila yang dilihatnya sebagai kunci bagi keberlanjutan Indonesia di masa depan. Sang penulis - J.D. de Fretes - adalah orang Maluku pertama yang menjadi duta besar Indonesia dan semasa mudanya merupakan asisten dari gubernur Latuharhary

Kepercayaan Sukarno terhadap kualitas kepemimpinan orang Maluku, menjadi lebih jelas pada kepercayaannya yang sangat tinggi terhadap Dr Johannes Leimena. Dr Leimena adalah satu-satunya pemimpin politik di Indonesia, yang paling banyak duduk di kabinet yaitu 18 kali duduk dalam kabinet di Indonesia. Selain itu, Dr Leimena juga adalah satu-satunya orang Indonesia yang pernah menjadi pejabat Presiden RI sebanyak tujuh kali. Prestasi politik semacam ini belum pernah dicapai oleh siapapun di Indonesia. Dr Leimena pada waktu adalah ketua Partai Kristen Indonesia dan pendiri gerakan mahasiswa kristen Indonesia.

Andar Ismail mengutip kata-kata Bung Karno bahwa, "Ambillah misalnya Leimena ... saat bertemu dengannya aku merasakan rangsangan indra keenam, dan bila gelombang intuisi dari hati nurani yang begitu keras seperti itu menguasai diriku, aku tidak pernah salah. Aku merasakan dia adalah seorang yang paling jujur yang pernah kutemui".

Posisi politik Leimena adalah hasil refleksi dirinya yang menurutnya memiliki dua kewargaan (dwi-kewargaan atau dual citizenship), yaitu bahwa pada waktu dirinya merupakan anggota dari gerejanya, pada saat yang sama dia adalah juga anggota dari Negara-nya. Sebagai warga negara yang mendukung kemerdekaan negaranya, Leimena menemukan bentuk tanggung jawab bernegara. Solidaritas bersama warga bangsa (meskipun berbeda agama) inilah yang merupakan satu landasan bagi kita sebagai orang Maluku untuk memahami posisi kita di Indonesia. Paling tidak itulah yang dijelaskan Flip Litaay dalam bukunya berjudul “Pemikiran Sosial Johannes Leimena tentang Dwi-kewargaan di Indonesia.”

Victor Silaen menangkap pesan Leimena tersebut dalam buku Litaay bahwa “… pemikiran kritis Leimena tentang bagaimana kedudukan warga gereja dan warga negara di Indonesia…” agar orang Kristen memahami kehadirannya di negeri ini sebagai sebuah 'karunia' (gabe) dan menyikapinya dalam wujud kerjasama yang kritis solider dengan sesama warga negara Indonesia lainnya; dalam arti saling berbagi dan berbagi bersama (to share and share alike), sebagai suatu pertanggungjawaban (aufgabe) kepada Tuhan demi keutuhan negara dan bangsa berdasarkan Pancasila sebagai ideologi yang pluralis, sekuler, integratif sentripetal dan final.

Leimena memberikan contoh nyata dalam hidup pribadinya. Salah satu anaknya menikah dengan pasangan yang beragama Islam dan memeluk agama Islam dan Dr Leimena merestui keputusan tersebut. Hal ini menunjukkan satu teladan besar mengenai sifat negarawan Leimena yang mendukung Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Sejarah juga mencatat keterangan Ridwan Saidi yang adalah mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), bahwa ketika Presiden Sukarno berniat membubarkan HMI, Dr Leimena berprakarsa mencegah keputusan Presiden Sukarno itu dan akhirnya HMI tidak dibubarkan oleh Bung Karno.

Andar Ismail mengatakan bahwa “…Untuk generasi sekarang, Leimena merupakan tokoh masa lalu yang patut dikenal sebagai model. Kita mempunyai banyak pemimpin, tetapi adakah pemimpin yang betul-betul jujur sehingga patut dijadikan teladan? Adakah pemimpin yang bersih dari gila kuasa dan gila harta, sehingga semua orang ingin mencontoh dia? Justru generasi masa kini perlu mengenal Leimena karena pemikiran dan teladannya. Ia adalah pemimpin yang diberi karunia yang langka, yaitu karunia hati nurani.”

Mungkin inilah yang disebut sebagai kehidupan ber-Pancasila. Siapkah kita?

Tentang ‘rasa hati’ Leimena, Sang Teolog Kebangsaan
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


Teologi, di dalam cara dan situasi apa pun, adalah dialektika antara yang abstrak (misteri) dan empirik (kontekstual). Dialektika itu menempatkan manusia, sebagai subyek [yang ber]teologi, dalam ruang pemaknaan yang nyata; artinya ia hidup dan berada di dalam dunia, di tengah suatu situasi yang dihadapinya, bahkan di tengah galau hati, keresahan, dan berbagai problem psikologisnya. Malah di dalam situasi terancam sekalipun, teologi itu mampu hadir. Dalam keadaan itu, kita bisa mengatakan bahwa setiap pemikiran dan perbuatan teologi [berteologi] didorong pula pada adanya pengharapan [hope].

Banyak kalangan menyebut bahwa berteologi selalu didorong oleh solidaritas, yakni ketika diskusi teologi dibawa masuk ke dalam ruang-ruang publik dan dilihat sebagai suatu aktifitas kehidupan yang sesungguhnya. Artinya teologi dan berteologi itu bukan aktifitas tekstual atau dogmatik, sebaliknya aktifitas kehidupan/perbuatan.

‘RASA HATI’
Dalam banyak defenisi aspek ‘belarasa’ selalu dilihat sebagai dorongan mendasar dari solidaritas manusia yang berteologi. Malah ada yang menterjemahkannya lebih dari sebatas kepedulian, solider, karena ‘belarasa’ adalah bentuk empati mendalam, di mana seseorang yang berteologi pertama-tama didorong oleh ‘pandangan dunia’ atau pemahaman dirinya, lalu melahirkan kepekaan untuk melihat realitas yang termarginalkan [individu maupun kelompok], dan mendorong suatu aksi untuk benar-benar menyatakan keberpihakan, pembelaan [advokasi], dan kepedulian. ‘Belarasa’ pada gilirannya melahirkan perubahan, pemulihan relasi, penegakan keadilan dan kebenaran, yang semuanya mengarah pada kehidupan. Maka kehidupan adalah tema dan tujuan utama dari berteologi itu sendiri.

Om Jo ~seperti juga dalam tulisan sebelumnya~ adalah teolog kebangsaan yang mampu mendemonstrasikan suatu keunggulan berteologi secara personal, dan itu yang menjadi karakternya yang khas (typical). Ia bukan saja teolog kebangsaan yang kritis, dan tegas. Ternyata sikap kritis dan tegas itu lahir dari ‘rasa hati’ yang sangat mendalam terhadap bangsa dan masyarakat [orang] Indonesia.

Beberapa rekaman sejarah mengenai krisis awal 1965 yang menumbangkan Soekarno, seperti yang saya baca dalam buku brilian karya F.P.B. Litaay (2007) melukiskan suasana ‘rasa hati’ Om Jo yang mendalam dan mampu melahirkan kritik serta perlawanan [diskursus] terhadap Soeharto yang dinilainya berlaku kasar terhadap Presiden. Malah, menurut tulisan Litaay, ketika Soekarno ditawarkan untuk pergi ke Yogya, Om Jo yang bertindak membelokkan perjalanan Soekarno, dan membawanya ke Istana Bogor. Kisah ini mungkin dinilai sederhana, tetapi tindakan Om Jo itu membuat Indonesia terhindar dari perang saudara yang bisa saja menghancurkan Proklamasi. Komimten Om Jo pada Proklamasi ternyata lahir karena kecintaannya kepada rakyat Indonesia yang sudah merdeka. Dalam tulisan Litaay, yang juga mengutip wawancaranya dengan P.D. Latuihamallo, bahwa beberapa saat sebelum naik pesawat, dalam kondisi yang genting, Om Jo bertanya kepada Soekarno: ‘Pak Presiden, apakah anda benar mencintai rakyat?’ ‘Ya, tentu’, jawab Presiden.

Di situlah tergambar bahwa dalam krisis politik nasional itu, Om Jo tidak melihat seberapa penting kekuasaan, melainkan seberapa penting rakyat dan seberapa penting komitmen cinta [‘rasa hati’] pemimpin terhadap rakyatnya. Makanya tidak heran jika ia berani melawan Soeharto, dan menegaskan juga bahwa politik itu adalah etika untuk melayani, bukan nafsu untuk berkuasa.

‘Sterkte!’, Kuatkanlah dirimu!

Ungkapan ini dikatakan Om Jo saat Roeslan Abdulgani tertembak tangannya, 19 Desember 1948 di Yogyakarta. Saat itu Om Jo bersama beberapa perawat sedang dikawal tentara pendudukan dan berpapasan dengan Roeslan Abdulgani yang sedang diangkut dalam dokar.
Melihat keadaannya yang telah hilang beberapa jarinya, Om Jo berteriak dengan gusar: “Roeslan? Kamu terluka? Lekas ambil tetanus! Lekas ambil tetanus!

Menurut kesaksian Roeslan, sambil berteriak seperti itu Om Jo dibentak dan diancam dengan senjata oleh para pengawal, tetapi beliau tetap berteriak: ‘Lekas ambil tetanus! Lekas ambil tetanus! Hingga sayup-sayup terdengar suara Om Jo: ‘Sterkte! Kuatkanlah dirimu! (Litaay, 2007:183-4).

Om Jo seorang dokter. Lekas ambil tetanus! Kalimat itu adalah advice seorang dokter yang disampaikan kepada pasien (Roeslan) dengan tujuan agar tidak terjadi infeksi yang bisa mengancam hidup sang pasien. Bentuk terapi medis yang telah menjadi bagian dari etika kedokteran. Sungguh, Om Jo melakoni profesinya dengan baik. Tetapi lakon itu terjadi di dalam situasi yang sama sekali tidak menguntungkan baik untuk nyawanya dan para perawat yang sedang dalam pengawalan, tetapi terlebih kondisi pasien Roeslan yang sedang terluka dan juga dalam situasi perang.

Kita bisa melihat bahwa ia hanya berpapasan dengan Roeslan. Roeslan tidak sedang di kamar perawatan di sebuah Rumah Sakit atau Klinik, dan Om Jo adalah dokter jaga saat itu. Mereka berpapasan di jalan, Om Jo dalam pengawalan dan Roeslan terluka di dalam dokar. Namun aspek ‘rasa hati’ melahirkan suatu komitmen pelayanan yang tinggi meski dalam situasi yang sama sekali tidak nyaman, tidak menguntungkan dan mengancam.
Suatu bentuk respons teologi dan malah dobrakan teologi. Ia melakoni apa yang sesungguhnya menjadi inti dari berteologi itu yaitu: ‘berteriak’ melawan situasi yang tidak adil dan perlakuan yang menindas. Sebuah gerakan menolong, memulihkan, menumbuhkan dan membebaskan. Suatu teriakan kehidupan walau dirinya sendiri sedang dalam ancaman.

Tidak sampai di situ, sang dokter itu ternyata melakoni profesinya sebagai seorang beriman yang mampu melihat manusia melewati batas-batas apa pun: melewati batas situasi sosial, batas penjajahan, melewati batas ancaman, dan juga melewati batas agama. Roeslan bagi Om Jo adalah seorang manusia yang harus dipulihkan dan ditopang dalam menghadapi situasi krisisnya.

‘Sterkte’ Kuatkanlah dirimu!’, adalah bentuk penopangan Om Jo terhadap Roeslan, bukan karena tidak bisa merawatnya, melainkan karena Roeslan harus berjuang untuk mengatasi krisis yang sedang dialaminya, tetapi Om Jo tetap merasa ia harus mengadirkan diri dalam perjuangan melawan krisis yang dilakoni Roeslan sendiri.
‘Rasa hati’ selalu membuat seseorang mampu menghadirkan dirinya di dalam perjuangan orang lain atau sesama, walau tidak secara langsung. Apa yang Om Jo perlihatkan itu adalah bagian dari panggilan teologi kebangsaan yang mendorong suatu usaha mengatasi dan keluar dari krisis melalui kepedulian penuh kepada siapa pun juga.

Riwayat Perjuangan dan aktivitas LEIMENA
  1. Pada tahun 1926, Leimena ditugaskan untuk mempersiapkan Konferensi Pemuda Kristen di Bandung. Konferensi ini adalah perwujudan pertama Organisasi Oikumene di kalangan pemuda Kristen. Setelah lulus studi kedokteran STOVIA, Leimena terus mengikuti perkembangan CSV yang didirikannya saat ia duduk di tahun ke 4 di bangku kuliah. CSV merupakan cikal bakal berdirinya GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) tahun 1950
  2. Aktif dalam organisasi pergerakan di Jong Ambon, dan  ikut mempersiapkan Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 
  3. Leimena dikenal sebagai salah satu pendiri Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)
  4. Leimena bekerja sebagai dokter sejak tahun 1930 sebagai dokter pemerintah di "CBZ Batavia" (kini RS Cipto Mangunkusumo). Tak lama ia dipindahtugaskan di Karesidenan Kedu saat Gunung Merapi meletus. Setelah itu dipindahkan ke Rumah Sakit Zending Immanuel Bandung. Di rumah sakit ini ia bertugas dari tahun 1931 sampai 1941.
  5. Menjabat sebagai ketua Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dari tahun 1945-1957.
  6. Selain di Parkindo, Leimena juga berperan dalam pembentukan DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia, kini PGI), juga pada tahun 1950. Di lembaga ini Leimena terpilih sebagai wakil ketua yang membidangi komisi gereja dan negara.
  7. Leimena dipercaya Presiden Soeharto sebagai anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) hingga tahun 1973. Setelah purna tugas di DPA ia kembali melibatkan diri di lembaga-lembaga Kristen yang pernah ikut dibesarkannya seperti Parkindo, DGI, UKI, STT, dan lain-lain. Ketika Parkindo berfusi dalam PDI (Partai Demokrasi Indonesia, kini PDI-P), Leimena diangkat menjadi anggota DEPERPU (Dewan Pertimbangan Pusat) PDI, dan pernah pula menjabat Direktur Rumah Sakit DGI Cikini.
Jabatan
  • Menteri Muda Kesehatan pada Kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946 - 2 Oktober 1946)
  • Wakil Menteri Kesehatan pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947)
  • Menteri Kesehatan pada Kabinet Amir Sjarifuddin I (3 Juli 1947 - 11 November 1947)
  • Menteri Kesehatan pada Kabinet Amir Sjarifuddin II (11 November 1947 - 29 Januari 1948)
  • Menteri Kesehatan pada Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949)
  • Menteri Negara pada Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 - 20 Desember 1949)
  • Menteri Kesehatan pada Kabinet Republik Indonesia Serikat/RIS (20 Desember 1949 - 6 September 1950)
  • Menteri Kesehatan pada Kabinet Natsir (6 September 1950 - 20 Maret 1951)
  • Menteri Kesehatan pada Kabinet Sukiman-Suwirjo (27 April 1951 - 3 April 1952)
  • Menteri Kesehatan pada Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 30 Juli 1953)
  • Menteri Kesehatan pada Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 - 24 Maret 1956)
  • Menteri Sosial pada Kabinet Djuanda (9 April 1957 - 10 Juli 1959)
  • Menteri Distribusi pada Kabinet Kerja I (10 Juli 1959 - 18 Februari 1960)
  • Wakil Menteri Utama merangkap Menteri Distribusi pada Kabinet Kerja II (18 Februari 1960 - 6 Maret 1962)
  • Wakil Menteri Pertama I pada Kabinet Kerja III (6 Maret 1962 - 13 Desember 1963)
  • Wakil Perdana Menteri II pada Kabinet Kerja IV (13 November 1963 - 27 Agustus 1964)
  • Menteri Koordinator pada Kabinet Dwikora I (27 Agustus 1964 - 22 Februari 1966)
  • Wakil Perdana Menteri II merangkap Menteri Koordinator, dan Menteri Perguruan Tinggi & Ilmu Pengetahuan pada Kabinet Dwikora II (24 Februari 1966 - 28 Maret 1966)
  • Wakil Perdana Menteri untuk urusan Umum pada Kabinet Dwikora III (27 Maret 1966 - 25 Juli 1966)
J. Leimena meninggal dunia di Jakarta Pada tanggal 29 Maret 1977. Sebagai penghargaan kepada jasa-jasanya, pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No 52 TK/2010 pada tahun 2010 memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Dr. Leimena.
Sumber : http://juliansoplanit.blogspot.com/2012/02/dr-johannes-leimena.html